Temuan-temuan arkeologis menyodorkan informasi baru mengenai praktek penyaliban Romawi.
by Reverend Dr. J. H. Charlesworth from Expository Times,
February 1973

Pada awal musim panas 1968 sebuah tim arkeolog dibawah pengarahan V. Tzaferis menemukan empat gua-kuburan di Giv’at ha-Mivtar (Ras el-Masaref), pesis di utara Yerusalem, dekat Bukit Scopus, dan persis di sisi barat jalan ke Nablus. Tanggal kuburan-kuburan itu, sebagaimana terungkap dari gerabah in situ, berkisar antara akhir abad kedua SEB sampai 70 EB. Kuburan-kuburan keluarga itu, dengan kamar-kamar yang bercabang-cabang, yang dikeruk di tanah batu kapur yang lunak, menjadi bagian dari kuburan Yahudi di jaman Yesus, yang merentang dari Gunung Scopus di timur sampai kuburan Sanhedriya di barat-laut.

Dalam gua-gua itu ditemukan 15 osuari (guci tulang) yang berisi tulang-belulang dari 35 orang. Di bawah pemeriksaan para spesialis, tulang belulang itu mengungkapkan sebuah kisah yang mengejutkan mengenai kekejaman dan penderitaan yang dihadapi oleh orang-orang Yahudi di abad Yesus hidup itu. Sembilan dari ke-35 orang tadi menemui kematian dengan kekerasan. Tiga orang anak, dari usia delapan bulan sampai delapan tahun, mati karena kelaparan. Seorang anak umur hampir empat tahun mati menderita dengan anak panah yang menembus dari kiri tengkoraknya (tulang occipital). Seorang pemuda berumur 17 tahun dibakar sampai mati dalam keadaan terikat di tonggak kayu, sebagaimana disimpulkan dari garis-garis kelabu dan putih pada fibula kirinya. Seorang perempuan yang sedikit lebih tua juga mati karena dibakar. Seorang perempuan tua umur hampir 60 tahun kemungkinan mati karena pukulan benda tumpul seperti tongkat pada tengkorak kepalanya; atlas, axis vertebrae dan tulang occipitalnya remuk. Seorang perempuan usia awal 30an mati sewaktu melahirkan, dengan bayi masih dalam pelvisnya. Terakhir, dan yang penting untuk dicatat, seorang lelaki usia antara 24 sampai 28 tahun mati disalib.

Nama orang itu sebagaimana ditorehkan pada osuari dengan huruf-huruf setinggi 2 cm: Yehohanan. Diperkirakan dia disalib antara tahun 7 EB, masa pemberontakan sensus, sampai 66 EB, awal peperangan melawan Roma.  . . . . . Menurut Dr. N. Haas dari Department of Anatomy, Hebrew University—Hadassah Medical School, Yehohanan mengalami tiga episode traumatik. Langit-langit mulut yang dekik-dekik di sisi kanan dan asimateri muka yang terkait dengan itu kemungkinan besar adalah akibat kerusakan diet ibunya dalam minggu-minggu pertama kehamilannya. Disproporsi cerebral cranium (pladiocephaly) diakibatkan oleh kesulitan-kesulitan sewaktu kelahiran. Semua tanda kekerasan pada tulang kerangka adalah akibat langsung atau tidak langsung dari penyaliban.

Deskripsi kematian Yehonanan akan bermanfaat untuk membayangkan penderitaan Yesus mengingat kedua orang itu disalib oleh orang-orang Romawi di abad yang sama dan tidak jauh dari tembok Yerusalem. Tulang radial kanan nomor tiga dari bawah Yehohanan berisi sebuah alur yang kemungkinan besar diakibatkan oleh friksi antara sebuah paku dengan tulangn itu. karena itu kedua lengannya dipakukan ke patibulum menembus lengan—bukan menembus pergelangan tangan, karena tulang-tulang pergelangan tangannya utuh.  Karena itu adalah logis untuk menyimpulkan bahwa, bertentangan dengan penggambaran tipikal pada lukisan-lukisan dan biografi-biografi, yang dipaku adalah lengan Yesus, bukan tangannya. Barangkali kita harus menerjemahkan hanya dua bagian dari injil-injil yang menyebutkan Yesus disalib (Luk 24, Yoh 20) bukan di “tangan,” melainkan—sesuai keterangan Hesiod, Rufus Medicus, dan orang-orang lain—di “lengan.” Karena itu, menurut Yoh 20, Yesus mengatakan pada Thomas, “Masukkan jarimu ke sini dan lihatlah lenganku. . . .”

Kedua kaki Yehohanan dirapatkan menjadi satu, dibengkokkan, dan dipuntir sehingga kedua pahanya paralel dengan patibulum. Kedua kaki dilekatkan pada kayu salib dengan sebatang paku yang secara simultan menembus kedua mata kaki (tuber calcanei). Paku besi di bagian bawah kepalanya mengandung: sedimen-sedimen, fragmen-fragmen kayu Pistacia atau Acacia, kerak kapur, satu bagian tulang mata kaki kanan, satu bagian lebih kecil tulang mata kaki kiri, dan sebuah fragmen kayu zaitun. Rupanya Yehohanan dipakukan ke salib kayu zaitun dengan kaki kanan di atas kaki kiri. Lebih jauh lagi, Dr. Haas menyimpulkan bahwa paku besi itu bengkok sekitar 2 cm karena menghantam soca kayu, yang membuat kaki-kaki itu harus diamputasi untuk melepasnya dari kayu salib.

Sementara Yehohanaan masih di kayu salib, mungkin setelah beberapa waktu, kedua kakinya dipukul remuk. Satu pukulan keras dari sebuah benda tumpul dan berat memberikan coup de grace, mengakibatkan tulang kering (gares) kanannya pecah menjadi serpihan-serpihan, dan gares kirinya retak-retak, dengan garis-garis yang searah dengan kayu salib (simplex).

Temuan-temuan di atas bisa memberikan kejelasan mengenai bagaimana Yesus mati, tetapi pertanyaan pertama kita tetap belum terjawab secara memadai. Mengapa Yesus mati begitu cepat?

Seni Kristen tidak henti-hentinya menggambarkan Yesus sebagai terpaku di kayu salib dengan ujung-ujung jari terbuka penuh. Torso Yehohanan dibekuk ke posisi terpuntir, dengan kedua pangkal paha dan paha bawah ditekuk dan dipuntir secara tidak alami. Karena paku itu tidak mengencangkan kaki-kaki itu ke kayu salib, sebuah papan (sedecula) kemungkinan besar dipakukan pada simplex, sehingga memberikan topangan untuk pantat dan memperpanjang siksaan. Andaikata Yesus disalib dengan posisi sama, dan kita tidak bisa yakin apakah kemungkinan itu besar, otot-ototnya yang tertarik pasti akan mengakibatkan kontraksi-kontraksi spasmodik (tetanisasi) dan kram-kram kaku yang akhirnya akan menyebar sampai ke diafragma dan paru-paru sehingga menarik dan menghela nafas akan terganggu. Yesus bisa mati sesudah enam jam.

Tetapi kedua orang lain yang disalib bersama-sama Yesus tidak mati secepat itu. Mungkinkah hal itu karena sebelumnya mereka tidak disiksa terlebih dulu, ataukah karena mereka disalib dengan cara lain? Barangkali logis untuk berasumsi bahwa karena Yesus telah menjadi pusat perhatian selama setidak-tidaknya satu pekan, maka dia kemudian diberi perhatian ekstra oleh para algojonya sebelum akhirnya disalib. Khususnya akan seperti itu situasinya jika kedua orang yang lain itu disalib karena mereka dituduh perampok atau penjahat (bandingkan Km 15, Mt 27, dan Lk 23), tetapi Yesus disalib karena pemberontakan melawan Roma. Ini bukan spekulasi-spekulasi yang ngawur, tetapi spekulasi-spekulasi itu memang tidak tercakup dalam data yang tersedia. Kita hanya bisa bertanya-tanya mengapa Yehonanan disalib; mengapa kaki-kakinya diremuk; dan adakah sesuatu bentuk penyaliban khusus untuk orang yang dituduh memberontak? Sementara kita mencari jawaban-jawabannya, kita harus ingat bahwa situasi dan kondisi khusus Yesus: siksaan tidak mungkin lebih dari tujuh jam, sebab hari Sabbath yang semakin mendekat itu tidak boleh dilanggar, khususnya dekat Yerusalem yang konservatif itu.

Akhir kata, kita sekarang mempunyai bukti empiris tentang penyaliban. Kematian di kayu salib bisa lama atau cepat. Penyaliban kenalan Josephus yang katanya mampu bertahan hidup itu tidak boleh diproyeksikan pada penyaliban Yesus. Josephus tidak lagi digunakan sebagai paradigma non-injil utama bagi penyaliban; paradigma utamanya sekarang adalah data arkeologis seperti diuraikan di atas. Penyaliban Yesus, yang tidak memiliki fisik dan stamina seorang gladiator, bukan dimulai, melainkan mencapai puncaknya, ketika ia dipaku di kayu salib. Setelah sepanjang malam dipukuli secara brutal oleh serdadu-serdadu Romawi, yang pasti menikmati kesempatan untuk meluapkan kebencian mereka pada orang-orang Yahudi dan kemuakan mereka pada gaya hidup Palestina, Yesus praktis sudah mati. Saya tidak melihat alasan apapun mengapa kisah-kisah Sinoptik tidak menyebutkan satu pun bruta facta dari kehidupan Yesus ketika injil melaporkan bahwa, ketika Yesus mulai berjalan terhuyung-huyung dari istana Herodes ke Golgotha, ia terlalu lemah untuk memanggul salibnya. Simon dari Cyrene memanggul salib itu untuknya. Metafor-metafor jangan sampai dikacaukan dengan aktualitas-aktualitas, atau kepercayaan dikacaukan dengan sejarah. Bukanlah suatu pengakuan iman untuk menegaskan bahwa Yesus mati di Golgotha pada siang hari Jum’at itu; itu adalah sebuah probabilitas yang diperoleh dari kanon-kanon tertinggi penelitian historis ilmiah. Jawaban enteng para humanis dan rasionalis atas pertanyaan mengapa Yesus mati begitu cepat tidak lagi bisa diterima di lingkaran-lingkaran para ahli. Catat saja, misalnya, komentar penyimpul dalam “biografi” paling mutakhir tentang Yesus oleh seorang ahli Yahudi: “Others thought that he called out in despair: ‘My God, my God (Eli, Eli), why hast thou forsaken me?’ And Jesus died.’”

Bacalah komentar para ahli tentang penyaliban Yesus.

© Appeared in the Expository Times February 1973 volume IXXXIV No. 6. The Expository Times is published by:

T&T Clark
59 George Street
Edinburgh EH2 2LQ
Scotland

Judul asli: “Jesus and Jehohanan: An Archaeological Note on Cruxifixion”

Sumber: http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline

Terjemahan: Bern Hidayat, 17 Desember 2009

Seperti apa hidup di Corinth, Thessalonica, Sepphoris, dan Caesarea Maritima?

Holland Lee Hendrix:

President of the Faculty, Union Theological Seminary

KOTA-KOTA PROVINSI ROMAWI

Mari kita main pura-pura:  Anda seorang pejabat Romawi dan anda baru saja tiba di Caesarea Maritima. Apa yang anda pikirkan?

Well, misalkan saja kita masuk ke sembarang ibukota provinsi Romawi yang maritim itu. . . . . anda akan melihat sesuatu yang tipikal pada banyak kota-kota Romawi, tetapi dengan skala yang sangat cantik dan sangat megah. Dan saya kira hal terpenting adalah bahwa anda melihat institusi-institusi tipikal dari kebudayaan Romawi. . . . . Anda akan melihat odeum Romawi, hippodrome Romawi, tempat di mana anda menyelenggarakan pacuan kuda. Anda akan melihat toko-toko yang menjual buku-buku dalam bahasa Latin dan barangkali juga Yunani di rak-raknya—perdagangan budaya membaca Romawi sangat marak—Orang akan melangkah memasuki sebuah tempat yang ditengarai dengan masyarakat dan kebudayaan Romawi, yang ditunjukkan oleh institusi-institusi yang mempunyai kekuatan ekonomi dan politik Romawi. . . .

Anda akan bertemu dengan bauran aneka macam orang dari berbagai ras, karena khususnya di kawasan Laut Tengah, di pinggiran kawasan lautnya, lalu-lintas populasi yang berjalan sangat besar, sehingga anda akan menemukan orang-orang yang bahkan berasal dari sub-kontinen, yang jelas dari Timur, anda akan menemukan orang-orang dari Yunani, dari Mesir, dari Barat bahkan sampai dari Gaul, dan mungkin juga dari Inggris.

Apa yang anda lihat ketika anda meninggalkan gerbang kota, batas kota, ketika anda masuk ke pedesaan?

Ketika anda meninggalkan kota Romawi, khususnya di ibukota provinsi, anda akan melihat gradasi-gradasi kehidupan kota, yang diekspresikan terutama lewat apa yang kita sebut suburbs dan ini masih terikat erat dengan kota. Dan kemudian ketika anda semakin jauh masuk ke pedalaman, perbedaannya akan menjadi makin lama makin tegas dan lugu, dan anda akan menghadapi dua hal yang terpisah jauh: di satu pihak kebudayaan pribumi dan masyarakat dari orang-orang yang sudah berabad-abad tinggal di sana, jika bukan malah ribuan tahun—di pihak lain, anda akan melihat terobosan-terobosan dari kekuatan ekonomi Romawi, dalam beberapa hal juga kekuatan politis Romawi. Misalnya, di semua provinsi ada estates dengan tanah luas yang berlokasi terutama di daerah-daerah pedesaan, jauh dari kota-kota. Dan estates itu bisa agak besar, dengan populasi seratus orang lebih. Dan itu pasti sudah meliputi, mungkin, sejumlah besar populasi budak, yang diwakili oleh sejumlah besar etnisitas dan nasionalitas yang berbeda-beda. Kontraskan itu dengan populasi-populasi pribumi yang terutama masih agraris atau terikat pada dukungan infrastruktur kota-kota, yang dalam beberapa kasus juga terikat pada estates besar tadi. . . . . Tetapi yang jelas anda akan menemukan, di daerah-daerah pedesaan, selain estates besar tadi, anda akan menemukan populasi subsisten, dan ini kontras tajam dengan pusat-pusat urban.

CORINTH

Corinth adalah sebuah kota yang pasti mentakjubkan karena dia menjadi contoh dari kota pantai maritim seperti yang kita dapatkan di Caesarea Maritima. Pertama, anda akan mendapatkan pelabuhan dan segala macam aktivitas yang berkaitan dengan pelabuhan . . . . . Anda akan mendekati kota itu dari sebuah jalan raya Romawi yang bagus. Dan ketika anda mendekat, anda akan pertama-tama menemukan sebuah sanctuary Asclepius yang sangat cantik—di jaman dulu anda pergi ke situ jika ingin penyakit anda disembuhkan—dan menurut aturan-aturan statutoris untuk Asclepius, sanctuary harus ditempatkan jauh dari kota, di mana anginnya semilir dan tempatnya jauh dari hingar-bingar kehidupan kota sehari-hari. . . . . Dan kemudian anda berjalan terus menuju kota dan masuk sepanjang jalan monumental yang dinamakan Jalan Lechaion, yang akan membawa anda ke pusat kota itu sendiri. Dan di sana akan ada kuil megah Apollo di Corinth, yang akan anda temukan di sisi kanan anda ketika anda memasuki kota. Mulai sekarang anda harus jalan kaki karena gerobak dilarang lewat sepanjang Jalan Lechaion, bahkan sekalipun anda melihat bekas-bekas roda gerobak di tanah di kanan-kiri jalan, dan itu menarik. Anda akan menemukan, di jaman Romawi, sejumlah kuil untuk dewa-dewa publik . . . . anda akan menemukan sebuah perpustakaan, anda akan menemukan banyak toko. . . . Dan anda juga akan menemukan, khususnya di jaman Romawi, pemandian-pemandian yang monumental dan megah. Pemandian adalah salah satu cara utama dengan mana orang-orang lokal bisa mengekspresikan sumbangan dan perbuatan-perbuatan baik mereka bagi kota, dan tentu saja pemandian-pemandian itu sangat penting dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial dan ekonomis kota itu.

Di atas Corinth anda akan menemukan sebuah fenomena yang menarik—sanctuary Demeter. Di sanctuary Demeter kita mendapatkan contoh-contoh yang indah untuk ruangan-ruangan makan di mana anda bisa makan. Jika anda membayangkan bagaimana orang makan di jaman kuno, well, apa yang anda sendiri kerjakan pada Jum’at malam di jaman sekarang? Well, fasilitas-fasilitas makan di berbagai kuil itu praktis berfungsi sebagai restoran—jadi anda akan pergi ke kuil Demeter di Corinth dan bersantap di sana bersama dewi Demeter atau salah satu dewa-dewi sanctuary itu sebagai nyonya rumah atau tuan rumah, dan itu akan menjadi salah satu rekreasi utama anda di jaman kuno.

THESSALONICA

Berbeda dari beberapa situs lain yang tengah kita bicarakan, Thessalonica mempunyai sebuah kota modern di atasnya. Thessalonica modern.  Dan jika anda mendekati kota itu dari arah laut, di jaman Romawi, anda akan mendongak dari sisi pantai dan melihat sebuah kota yang menjulang seperti sebuah amphitheater yang menyembul dari laut, sekali lagi dengan acropolis yang diperkuat dengan benteng di puncaknya dan kemudian, di jaman Romawi, sebuah forum multi-teras yang mentakjubkan.

Forum di Thessalonica cukup khas karena mempunyai formasi multi-teras. . . . satu teras mempunyai sebuah odeum yang sangat cantik dan sebuah portico bertutup yang mengelilinginya. Sebuah teras lain kita tahu  dahulu  ada, tetapi kita tidak yakin betul apa yang ada di sana. Kemungkinan besar itu adalah tempat di mana patung-patung para kaisar dipajang secara mencolok. Dan kemudian ada teras ketiga. Jadi itu pasti dramatis sekali, saya rasa—dilihat dari kota, kota itu tampak menjulang tegak di atas pantai, dan lekuk-liku tanah tampak jelas di bawah. . . . . .

Anda juga akan menemukan kuil Dionysus. Dionysus adalah salah satu dewa utama Macedonia, di mana Thessalonica merupakan ibukota provinsinya. Dan juga sejumlah kepercayaan lain, terutama kepercayaan Artemis. Ada banyak bukti tentang Artemis di kota itu. Dan salah satu hal yang indah tentang Thessalonica adalah lokasi geografisnya dan bagaimana kota itu diselaraskan dengan lokasi itu. Dan anda akan menemukan kawasan-kawasan hunian yang pasti mentajubkan. Jadi sekali lagi Thessalonica merepresentasikan kota tipikal Romawi di jaman itu.

Eric Meyers:

Professor of Religion and Archaeology Duke University

CAESAREA MARITIMA

Demografik bagian timur kekaisaran Romawi benar-benar menjadi inti dari upaya memahami dengan benar setting Yesus dan Yudaisme abad pertama di Palestina. Yerusalem adalah kota dengan aneka macam kemegahan, sebagaimana kita ketahui dengan begitu baik dari sedemikian banyak sumber. Tetapi Caesarea adalah puncaknya kota bandar besar. Kota besar dengan demografi campuran, dengan populasi etnis campuran. Jauh sebelum jaman Romawi kota itu sudah menjadi bandar utama. Aktivitas-aktivitas Herodes di sana membuatnya menjadi sebuah exit besar dan pusat transfer, di mana barang-barang dan aneka macam perbekalan masuk dan barang-barang lain diperdagangkan dan dibawa keluar. Dan penampilannya megah. Dan tempat itu penuh dengan para pelaut, penuh dengan para serdadu. Penuh dengan orang-orang Romawi, sebab di situlah para procurator berdiam. Dan kota itu mempunyai komunitas Yahudi kelas atas yang beraneka ragam. Kita tahu bahwa populasi Yahudinya yang minoritas di jaman itu juga berjalan dan akhirnya berkembang menjadi salah satu pusat Yahudi yang signifikan di jaman kemudian. Tetapi karakter kota itu oriental, megah, cantik, indah, dermaga-dermaga raksasa terbuka lebar, kapal-kapal keluar masuk.

L. Michael White:

Professor of Classics and Director of the Religious Studies Program University of Texas at Austin

CAESAREA MARITIMA

Caesarea Maritima adalah kota yang didirikan oleh Herodes Agung untuk dijadikan gerbang utama menuju Kekaisaran Romawi.  Itu dirancang secara serius dan njlimet untuk menjadi sebuah kota baru. Sebuah kota yang akan memberikan dia akses menuju jalur-jalur pelayaran dan ke perdagangan Kekaisaran Romawi. Dan karena itu, jika anda membayangkan . . . . Caesarea dan pelabuhan besar yang ia bangun, anda memandang sebuah tempat di mana ia menginginkan agar orang-orang melihat dunia terbuka lebar. . . . agar dunia luas mengenal kerajaannya. Jadi dia membangun pelabuhan itu juga demi kebesaran dirinya sendiri.

Herodes merancang kota itu sebagai sebuah pelabuhan baru, justru karena tidak ada pemecah gelombang alami, tidak ada pelabuhan alam di bentangan pantai itu. Dan karena itu, dia harus membangun pelabuhan buatan. Ia menggunakan insinyur-insinyur Romawi, yang didatangkan dari sana, dan mereka menciptakan pelabuhan itu, dengan mengambangkan bargas-bargas ke tengah laut dan menenggelamkan mereka dengan balok-balok raksasa seberat 30 ton dari batu atau beton cor untuk membangun bagian bawah permukaan. Kemudian, di atas pondasi itu, dia lalu menciptakan pelabuhan bagian dalam, jalur-jalur kapal, dan jaringan gudang—yang kemudian menjadi Caesarea Maritima. Di tengah kota—itu  adalah kota Romawi, lengkap dengan  kompleks pemerintahan, kuil-kuil untuk dewa-dewa Roma, yang menjadi personifikasi Roma itu sendiri, juga personifikasi Kaisar Augustus, patron Herodes.

Tadinya saya mengira Herodes adalah raja Yahudi. Apa tidak ada sinagoga di sana, tidak ada mausoleum?

Well, ada, kenyataannya, ada sinagoga-sinagoga di Caesarea. Kita akan mendengar tentang mereka nanti. Dan kadang-kadang, ada ketegangan-ketegangan akibat hal ini. Tapi itu adalah kota Romawi, itu dirancang dan dibangun sebagai kota Romawi. Sebuah rancangan jalan Romawi dengan presisi Romawi tingkat tinggi, dengan sebuah theater, dengan sebuah amphitheater, dengan semua renik-pernik kehidupan civic Romawi, dan juga banyak pengaruh Hellenistik.

SEPPHORIS

Eric Meyers

Sepphoris adalah sebuah kota yang sudah ada di jaman Hellenistik, abad pertama, kedua SEB. Tetapi itu baru benar-benar dikembangkan oleh anak Herodes, Antipas, yang pergi ke sana pada tahun 4 atau 3 SEB, setelah kematian bapaknya. Tetapi rentang aktivitas-aktivitas Antipas, sebagaimana digambarkan oleh siapa lagi kalau bukan Josephus, sejarawan era itu, adalah sangat carut-marut. Diperkirakan oleh banyak peneliti bahwa skema bangunan Antipas sangat mirip dengan punya bapaknya di Yerusalem. Tetapi setelah menggali selusin tahun di situs itu, sulit sekali memunculkan gambaran sebuah kota Romawi timur yang riil di jaman Yesus atau awal abad pertama di jaman Antipas. . . . . .

Theater yang oleh setiap orang dikira dibangun di jaman Yesus atau di jaman Antipas, pada hemat saya, dan saya kira begitu juga sekarang opini para arkeolog yang menggali di situs itu, itu baru dibangun di paruh kedua abad pertama, jika bukan awal abad kedua, EB. . . . Kita mendapatkan villa-villa kelas atas yang mentakjubkan di mana orang-orang Yahudi dan imam-imam tinggal, beberapa di antara mereka mempunyai hubungan sangat dekat dengan Yerusalem. Dan kita mendapatkan serangkaian pemandian-pemandian ritual abad pertama, yang digunakan untuk kungkum (mandi berendam), untuk melaksanakan perintah Levitikal sebagaimana ditemukan dalam Injil Hibrani, untuk menghormati perintah penyucian ritual, penyucian badani. . . . .

Jadi Antipas mempercantik kota itu, tetapi itu belum menjadi kota besar Romawi Timur. Saya yakin betul tentang hal ini. Itu terwujud di masa kemudian, ketika theater itu dibangun dan ketika legiun-legiun dan serdadu-serdadu Romawi datang dan memantapkan kehadiran mereka dengan galak di awal abad kedua. Ada satu petunjuk lagi yang bercerita banyak pada kita tentang karakter Sepphoris abad pertama. Dan yang mengherankan, itu datang dari tulang-tulang yang kami temukan di rumah-rumah itu dan di villa-villa itu. Di Sepphoris di awal periode Romawi kami praktis tidak menemukan tulang-tulang babi. Sesekali kami menemukan sepotong tulang aneh-aneh di sana-sini, tetapi praktis tidak ada tulang babi. Ketika kami naik ke abad-abad lain, bahkan abad kedua, kami menemukan peningkatan yang signifikan, antara 8 sampai 10 persen dari tulang-tulang yang ditemukan adalah tulang babi, dan tidak diragukan lagi hal itu berkaitan dengan kehadiran pasukan Romawi.  Dan memasuki abad keempat ketika ada orang-orang Kristen di sana, kami menemukan 18 sampai 20 persen tulang babi. . . . .

Saya kira awal-mula kebudayaan Yahudi di Sepphoris, sebagaimana bisa kita rekonstruksikan sekarang dari arkeologi di abad pertama, bisa dikarakterisasikan sebagai upscale—kelas atas—yang hidup sama persis dengan beberapa orang Yahudi dari Yerusalem hidup pada masa yang sama di kawasan Yahudi. Kami menemukan kamar-kamar yang dihias dengan fresco-fersco. Kami menemukan rumah-rumah, masing-masing dengan pemandian ritual privat. Itu extravaganza, mengingat dari mana air harus didatangkan dan teknik yang harus digunakan untuk mendapatkan air murni yang dicampur dengan air mandek. Tetapi itu budaya mainstream. Saya rasa mereka melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Itu bukan komunitas yang asimilatif. Gambaran yang kami dapatkan adalah komunitas yang mencerminkan mainstream, tetapi di tataran yang tertinggi. Itu adalah kota kelas atas yang sedang dalam tahap akan mapan. Belum menjadi  kota besar kawasan timur, tapi jelas sudah menjadi kota yang lahir di jaman Antipas.

MONA LISA DARI GALILEI

Salah satu dari temuan-temuan yang lebih menggairahkan yang kami capai di Sepphoris adalah sebuah villa Romawi megah dengan mosaik sangat, sangat indah di lantai di bangsal pesta. Dan villa itu, yang kami sebut Villa Dionysus karena begitu banyak adegan di sana berkaitan dengan legenda dan mitologi dewa Dionysus, mempunyai, di dua sisi bangsa pesta tadi, satu mosaik wanita yang sangat menarik dan satu lagi mosaik wanita yang kurang begitu menarik. Lady yang tidak begitu menarik itu tidak dilukiskan sebagus wanita yang sangat menarik, tetapi dia juga rusak parah akibat gempa bumi besar yang menghancurkan Sepphoris pada tahun 363. Tetapi wanita di sisi seberang dijuluki “Mona Lisa” oleh pers ketika kami menemukannya, sebab dia adalah lukisan batu yang benar-benar luar biasa dari seorang wanita cantik jaman Romawi. Dia mungkin salah satu dari keempat musim.  Tetapi kita mempunyai perasaan bahwa di balik wajah itu ada seorang wanita sejati dan sosok sejati. Karena kelihaian seniman yang melukiskannya dengan batu begitu cermat, begitu halus, dan sangat mirip lukisan. Dan karena itu dia telah menjadi sinonim dengan situs itu, sekalipun dia berasal dari abad ke-3, titik puncak Hellenisasi di situs itu. Sekarang dia sudah sinonim dengan Romanisasi situs itu dan Hellenisasi . . . . .

Penemuan adegan-adegan dari mitologi Dionysus di lantai sebuah bangsal pertemuan di sebuah kota Yahudi jelas menyentak kepala setiap orang. Dan membuat kami untuk pertama kalinya berpikir bahwa ada sikap yang jauh lebih liberal terhadap perintah kedua yang melarang imaji-imaji piktorial dalam Yudaisme, dan bahwa orang-orang Yahudi jauh lebih fleksibel dalam kaitan dengan image making dan presentasi serta aktivitas artistik, justru di jaman ketika Mishna, kumpulan hukum Yahudi pertama yang dibukukan di Palestina di abad ketiga, ditulis bersamaan waktu dengan karya seni besar ini.

Judul asli: “Portraits of Greco-Roman Cities”

Sumber: http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline.

Terjemahan: Bern Hidayat, 5 Desember 2009

PERANAN KULTUS-KULTUS DALAM KEHIDUPAN RELIGIUS ROMAWI

Ketika kita berbicara tentang kultus-kultus Romawi, kita berbicara tentang tiga macam praktek keagamaan. Setiap keluarga mempunyai “kultus” tersendiri, di mana keluarga itu memuja nenek moyangnya yang sudah mati. Beberapa keluarga elit juga mempunyai devosi terhadap dewa-dewa tertentu. Selama generasi demi generasi, anak-anak lelaki dari keluarga-keluarga itu membiayai pengelolaan kuil-kuil dan bertindak sebagai imam-imam dalam ritual-ritual yang menghormati dewa-dewa. Orang-orang Romawi juga mengembangkan sebuah kultus “publik” resmi, yaitu pemujaan kaisar. Ketiga, kekaisraan Romawi secara umum dan dimulai sekitar jaman Augustus (dengan beberapa kekecualian di masa lalu, misalnya Magna Mater), “kultus-kultus misteri” yang berasal dari negeri-negeri asing mulai mendapatkan popularistas di kota Roma.

Kultus Kaisar

Orang-orang Romawi mulai menuhankan para penguasa mereka yang telah mati sejak Julius Caesar. Ini tidak segila-gilaan sepeti yang kita rasakan sekarang ini. Kultus penguasa sudah lama menjadi bagian instrumental dari agama dan pemerintahan Hellenistik sejak Alexander Agung, dan sejumlah kebudayaan di dunia percaya bahwa para penguasa fana mereka mempunyai sesuatu hubungan istimewa dengan sang ilahi. Ketika masih hidup, Caesar menerima hak untuk mendapatkan seorang flamen (imam Romawi) untuk sebuah kultus yang dimaksudkan untuk menghormatinya, untuk menandai rumahnya seperti sebuah kuil, dan untuk menempatkan imago dalam arak-arakan para dewa yang menjadi ciri khas parade-parade dan festival-festival Romawi. Setelah ia mati, Senat mengeluarkan sebuah dekrit yang secara resmi menyatakan Caesar sebagai dewa, dan altar-altar serta kuil-kuil didirikan untuk menghormati dia.

Para ahli telah mengucurkan banyak tinta maupun darah orang-orang Romawi untuk menulis tentang bagaimana memahami penuhanan Caesar. Meskipun asimilasinya ke status dewa atau tuhan pasti akan dirasakan biasa-biasa saja bagi penduduk bagian timur kekaisaran Romawi, yang sudah terbiasa dengan kultus-kultus penguasa Hellenistik itu, dari sudut pandang para warga negara di bagian barat kekaisaran hal itu benar-benar baru (dan karenanya menakutkan) serta asing (dan karenanya jelek). Meskipun begitu, orang-orang Romawi tidak menggariskan perbedaan yang tajam seperti kita sekarang antara makluk fana dengan makluk ilahi. Mereka jelas percaya, misalnya, bahwa Romulus telah menjadi seorang dewa. Ritus-ritus penghormatan orang mati di Romawi dengan jelas memberikan atribut-atribut ilahi pada nenek moyang mereka yang telah mati. Kemenangan Romawi jelas telah mengangkat jenderal yang sukses ke status nyaris dewa atau tuhan.

Tetapi memasuki abad ke-3 SEB, para politisi dan jenderal Romawi terkemuka mulai mengklaim bahwa keluarga-keluarga mereka adalah keturunan dewa-dewa (Scipio Africanus, Aemilius Paullus, dan Julius Caesar). Begitu pula, memasuki akhir jaman Republik, figur-figur dominan seperti Marius dan Pompey menerima penghormatan “seperti penghormatan yang diterima para dewa.” Di bagian timur kekaisaran Romawi, para gubernur dan jenderal Romawi yang berhasil melakukan penaklukan sejak abad ke-2 SEB dihormati oleh pihak pecundang dengan penghormatan-penghormatan ilahi (sekali lagi ini adalah isyarat normal dalam konteks kultus penguasa Hellenistik).

Dari sudut pandang tertentu, satu-satunya inovasi yang direpresentasikan oleh pendewaan Caesar adalah bahwa penghormatan-penghormatan ilahi diberikan kepadanya di Roma. Selain itu, perbedaan yang diakibatkan oleh penghormatan tadi  bersamaan waktu dengan jatuhnya republik Romawi, yang struktur politisnya didasarkan pada ideal libertas (atau kesetaraan, setidak-tidaknya di antara para anggota elit politik). Status dewa mengisyaratkan bahwa, setidak-tidaknya secara ideologis, kekuasaan princeps (seorang anak dewa yang akan didewakan setelah ia mati) adalah menonjol dan lebih baik daripada yang diterima oleh anggota-anggota elit senat. Selain itu, Augustus, penguasa tunggal Romawi pertama yang sukses sejak jaman monarki, secara sadar mengasosiasikan dirinya sendiri dengan otoritas yang oleh orang-orang Romawi diberikan kepada agama. Sebagaimana dahulu dilakukan oleh Julius Caesar, ia menjadi pontifex maximus. Augustus brilyan dalam cara dia menyekutukan otoritas religius dengan otoritas politis. Meskipun ada banyak aktivitas ritus dan kultus yang diasosiasikan dengan kaisar, tidak ada satu upacara pun yang dengan jelas menandai status istimewanya atau dalam mana ia berpartisipasi sebagai aktor dominan (misalnya, penobatan raja). Sebagai gantinya, pemujaan kaisar dipadukan kedalam struktur-struktur agama Romawi yang sudah ada (misalnya, asumsi kewajiban-kewajiban oleh Fratres Arvales dalam kultus-kultus imperial).

Lebih jauh lagi, sepanjang hidupnya Augustus tidak pernah secara personal mengklaim status dewa. Lebih tepat lagi, ia mengijinkan pemujaan genius dan numen miliknya. Bagi orang-orang Romawi, setiap orang (dan setiap makluk) mempunyai suatu genius. Itu adalah energi kehidupan dan kekuatan generatif yang inheren dalam kehidupan. Ketika orang-orang Romawi merayakan hari ulangtahun mereka, misalnya, mereka merayakan genius mereka. Augustus juga menginstitusikan pemujaan publik terhadap Lares dan numen keluarganya. Numen Augustus berupa anggukan Yupiter yang memberikan persetujuan pada sesuatu tindakan. Istilah itu mengisyaratkan kehendak dewa. Itu adalah ekuivalen makluk fana dengan genius. Berbeda dari genius, kebanyakan orang tidak mempunyai numen. Dengan mengorganisir pemujaan kultus terhadap numennya, Augustus bersikap mendua. Di satu pihak, pemujaan itu mengisyaratkan bahwa tidak ada perbedaan besar antara dia sendiri dengan seorang dewa atau tuhan. Di pihak lain, Augustus secara eksplisit tidak mengatakan bahwa dia tuhan.

Setelah Augustus mati, penggantinya, yang juga anak pungutnya, Tiberius, mengatur agar dia didewakan. Seorang senator mengumumkan (dan mengambil sumpah) bahwa ia telah menyaksikan Augustus naik ke surga. Senat memerintahkan membangun sebuah kuil, menunjuk seorang flamen, dan melembagakan satu kelompok imam khusus. Hal itu menjadi kebiasaan Roma untuk mendewakan kaisar-kaisarnya setelah kematian mereka. Retorika dari tindakan-tindakan itu senantiasa mengisyaratkan bahwa kaisar, karena pencapaian-pencapaiannya semasa hidupnya, memang pantas mendapatkan pengakuan. Kadang-kadang seorang kaisar “jelek” tidak mengikuti prinsip-prinsip itu. Caligula, misalnya, menyatakan dirinya dewa ketika ia masih hidup. Para sejarawan dan biografer Romawi yang menulis tentang Caligula menyatakan bahwa hal itu benar-benar ngawur dan merupakan bukti tentang kegilaan Caligula.

Kultus kaisar menjadi cara yang ampuh bagi Roma untuk mengintegrasikan orang-orang yang jumlah serta tipenya semakin lama semakin meningkat kedalam sebuah identitas kultural tunggal. Di luar Italia, misalnya,  pemujaan kaisar biasanya dikaitkan dengan pemujaan dewi Roma. Anggota-anggota elit lokal bisa dikenali dari nominasi mereka kedalam keanggotaan para imam yang khusus melayani Augustus dan Roma. Orang-orang kaya baru tetapi tidak mempunyai garis keturunan yang baik (misalnya bekas budak) bisa diasimilasikan kedalam struktur kekuasaan oleh imam-imam seperti itu.

Kultus-kultus Misteri

Salah satu hal menonjol tentang “kultus-kultus asing” yang masuk ke Roma adalah usaha keras orang-orang Romawi untuk mengendalikan operasi-operasi mereka di kota itu. Kita lihat dalam kasus Magna Mater, misalnya, Roma melarang warga negaranya menjadi imam-imam Cybele (sampai pemerintahan Claudius) dan membatasi pemujaan publik terhadap Ibu Agung itu. Selain itu, kebanyakan kultus dan dewa asing diundang ke Roma atas permintaan Senat setelah mencermati Kitab-kitab Sibylline. Di jaman Republik, agama “kultus” rupanya tunduk pada kontrol efektif oleh elit Roma. Ada beberapa perubahan signifikan selama periode imperial ini.

Pertama, penaklukan Roma terhadap kawasan Laut Tengah berarti bahwa rentang kebudayaan-kebudayaan yang dimasukkan kedalam kekaisaran Roma sekarang sangat besar. Ketika jumlah warga negara Romawi membesar, semakin tak terhindarkan bahwa warga negara mungkin sekali akan menyembah Baal atau Mithras sebagaimana mereka menyembah Vestia atau Jupiter.

Kedua, selama periode imperial, kekuasaan politik di Roma semakin menjadi fungsi atau otoritas militer dan kekayaan yang diperoleh dari daerah. Dengan demikian Roma kemudian sadar bahwa mereka dipimpin oleh kaisar-kaisar dari keluarga-keluarga terkemuka Spanyol, Afrika Utara, dan Syria yang sangat sukses sebagai jenderal-jenderal. Secara tipikal orang-orang itu mengalami “Romanisasi” secara intensif; mereka dan ayah-ayah mereka pernah tinggal di Roma dan dididik di Roma, tetapi orang-orang Romawi memandang mereka sebagai Romawi “Spanyol” dan “Afrika.” Sebagai kaisar, semua orang itu memgang jabatan pontifex maximus. Tidak mengherankan jika mereka seringkali mentolerir dan mendorong kultus-kultus dewa-dewi yang sudah cukup akrab bagi mereka, bahkan jika orang-orang di semenanjung Italia itu sendiri tidak mengenalnya.

Ketiga, orang-orang Romawi sendiri, di berbagai tingkat kelas sosial, semakin banyak melakukan perjalanan dan dengan demikian dihadapkan pada berbagai jenis peribadahan religius. Seorang anggota elit muda kemungkinan besar akan menggunakan sesuatu pelayanan militer atau imperial di sudut-sudut kekaisaran yang jauh sementara ia berusaha naik ke jajaran kekuasaan politik Roma.  Setelah Augustus relatif berhasil menjaga ketertiban politis di Roma, orang-orang Romawi yang berdagang mempunyai kepentingan untuk memperluas operasi-operasi mereka di seluruh penjuru kekaisaran. Mereka, anak-anak mereka, dan bekas-bekas budak mereka pasti melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mengurusi kepentingan-kepentingan itu, dan karenanya sering melihat atau bahkan mencicipi –pemujaan kultus yang “eksotik” itu. Ketika akhirnya mereka kembali ke Roma, mereka mungkin menemukan pemujaan kultus itu juga sudah ada di sana, dibawa oleh pedagang-pedagang asing, para imigran dan budak. Dengan demikian apa yang dahulu merupakan mode pemujaan yangbersifat lokal kemudian menjadi masyarakat-masyarakat yang semakin kosmopolitan dan internasional.

Karena itu kultus-kultus itu menyediakan tempat untuk interaksi sosial yang didasarkan pada identitas dan preferensi individual. Seorang Romawi yang baru kembali dari timur mungkin akan menemukan sebuah kelompok di Roma yang menyembah Isis, kelompok yang lain lagi menyembah Mithras. Di Roma, mereka bisa mengikuti kelompok orang-orang yang berbagi entusiasme personal apapun yang dahulu menggugah minat mereka pada dewa atau dewi yang bersangkutan. Jika mereka melakukan perjalanan lagi, mereka bisa bertemu dengan orang-orang yang sepemikiran di situs-situs kultus untuk Isis atau Mithras di kota-kota di seluruh penjuru kekaisaran. Enerji yang diberikan oleh asosiasi yang didasarkan pada kepentingan-kepentingan individual itu cukup berbeda dari enerji yang ditawarkan oleh partisipasi dalam agama negara dan publik Roma. Orang-orang Romawi tetap mengikuti agama negara itu (sekalipun, sebagaimana telah kita lihat, kepatuhan terhadap berbagai agama publik popularitasnya kembang kempis) karena hal itu esensiil bagi Romanitas mereka. Tetapi kultus-kultus menawarkan bentuk perilaku dan asosiasi yang esensiil bagi identias personal mereka—siapa mereka dan apa artinya hidup di dunia ini bagi mereka.

Organisasai kultus-kultus sangat spesifik. Beberapa cukup longgar dan santai—anda tinggal bergabung, dan jika anda tertarik, anda bisa menjadi imam atau imam perempuan. Yang lain bisa sangat hirarkis—hanya orang-orang yang berasal dari kasta imam di Mesir boleh menjadi imam agung Isis, bahkan di situs-situs kultus yang berlokasi di Roma. Meskipun kultus Mithras terbatas pada para lelaki dan cenderung memikat pengikut dari kalangan militer, banyak kultus bersifat sangat demokratis dalam keanggotaan mereka—pria dan wanita dari aneka macam identitas etnik beribadah bersama-sama, juga dengan para bekas budak dan senator (dan kadang-kadang budak).

Kultus-kultus misteri menyodorkan pada para penganut mereka suatu visi sangat spesifik mengenai hakekat dunia, dan akses menuju suatu hubungan personal dengan sang ilahi yang akan memberi mereka suatu kedamaian transenden dalam eksistensi kemanusiaan mereka, dan seringkali prospek sebuah kehidupan yang mengatasi kematian. Secara tipikal, menurut mitologi mereka, dewa-dewa dari kultus-kultus misteri telah mati dan dibangkitkan kembali. Orpheus, Dionysus, Attis, dan Yesus semuanya adalah dewa-dewa yang oleh para penganutnya dipercaya telah mati dan bangkit kembali.  Mereka menawarkan pada para pengikut mereka kemungkinan kebangkitan kembali yang sama. Banyak kultus misteri memiliki ciri-ciri struktural yang serupa: para penganut baru diinisiasi kedalam kultus itu dengan sebuah upacara di mana mereka mengakui dan menyatakan identitas mereka sebagai penganut dewa yang bersangkutan. Upacara-upacara kultus seringkali meliputi himen-himne dan perjamuan-perjamuan ritual. Sebagian besar kultus mematuhi sebuah kalender perayaan-perayaan tahunan yang didahului dengan masa-masa persiapan ritual (misalnya, puasa). Satu-dua kultus mempunyai tradisi kitab atau sastra yang sudah sangat maju dan karena itu mereka secara tipikal tidak memiliki teologi yang koheren atau konsisten. Meskipun mereka mirip antara yang satu dengan yang lain secara struktural, renik-pernik dari kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek mereka bisa berbeda secara dramatis.

Masalah Bacchanalia

Banyak dari aspek-aspek pemujaan kultus yang menjadikan mereka begitu populer di kalangah warga Kekaisaran Romawi ternyata meresahkan jajaran kepemimpinan politis/religius Roma. Kultus-kultus itu secara tipikal bersifat inklusif dan tidak hirarkis, kecuali dalam penghormatan sosial yang diberikan oleh anggota-anggota kultus kepada imam-imam mereka. Selain itu, imam-imamnya seringkali bukan orang Romawi dan tidak mempunyai latar belakang sosial yang “terbaik.” Kultus-kultus itu juga berpotensi menyodorkan sesuatu bentuk identitas sosial yang dianggap melebihi (atau merongrong) nilai-nilai Romawi yang menggaris-bawahi hiarki gender, status, dan kelas. Banyak kultus “asing” diwajibkan menjaga agar lokasi kultus mereka tetap berada di luar pomerium. Ketika popularitas kultus mulai menjangkau keluar dari kelompok etnik atau lokal tertentu (misalnya orang-orang Phoenicia atau Yahudi) di Romawi, Senat Roma (dan Kaisar) cenderung waspada. Kultus-kultus yang mempunyai tempat-tempat pemujaan privat, bahkan rahasia, dan tingkat-tingkat inisiasi yang kompleks (misalnya Mithras, Kristianitas) cenderung membangkitkan kecurigaan Roma. Jika ritus-ritus dan bahasa ritual kultus tidak mudah dipahami oleh orang-orang Romawi (misalnya, “makanlah roti ini, ini tubuhku”), maka kecurigaan dengan cepat berkembang menjadi permusuhan terbuka dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang menindas. Sebaliknya, kultus-kultus yang menyambut baik asimilasi dengan dewa-dewi Romawi yang lebih tradisional dan yang memasukkan perayaan-perayaan demi kesejahteraan kaisar kedalam kalender ritual mereka (misalnya Isis), tidak menghadapkan masalah besar bagi para elit Romawi.

Sampai jauh memasuki abad ke-3 EB, anggota-anggota pria dari elit senatorial dan kalangan elit equites (pasukan berkuda) Romawi biasanya tidak bergabung dengan kultus-kultus misteri, meskipun mereka mentolerir kultus-kultus itu. Tetapi ketika di provinsi-provinsi, mereka mungkin mempersembahkan korban secara hormat pada dewa-dewa yang bersangkutan. Begitu pula, mereka mungkin memberikan sumbangan kepada kultus-kultus itu sebagai patron yang berpikiran terbuka.  Sebaliknya, anggota-anggota dari elit pemerintahan kota lebih sering secara terbuka dan secara penuh berpartisipasi dalam kultus-kultus. Di kota Roma sendiri, anggota-anggota kultus berasal dari jajaran orang-orang biasa dan orang-orang yang dipandang rendah: warga negara yang lahir bebas tetapi tidak mempunyai jaminan ekonomis tertentu, para bekas budak, dan budak-budak (dan orang-orang asing yang sedang melawat atau bermigrasi ke Roma). Bagi hoi polloi, anggota-anggota elit Romawi, menganut kultus dianggap rendah.

Tetapi dalam salah satu segmen keanggotaan mereka, kultus-kultus misteri itu secara tipikal melanggar hirarki-hirarki kelas Romawi. Kultus-kultus misteri secara tipikal melanggar hirarki-hirarki kelas Romawi. Wanita-wanita Romawi dari elit senator seringkali memainkan peranan besar sebagai patron-patron dan partisipan kultus-kultus misteri. Meskipun agama negara tradisional Romawi memberikan tempat pada para wanita, agama itu tidak memberi mereka peranan aktif dalam pelaksanaan ritual-ritual dan, dengan satu-dua kekecualian, tidak memberi mereka posisi otoritas keagamaan apapun. Anggota-anggota pria dari elit Romawi seringkali mengeluh tentang superstitio isteri-isteri dan anak-anak perempuan mereka (well, sebenarnya mengeluhkan isteri-isteri dan anak-anak perempuan orang lain yang tidak terkendali). Keluhan itu biasanya dibesar-besarkan. Pembesar-besaran itu sendiri mewakili kekhawatiran para anggota pria alit senator ketika menghadapi orang-orang “lain,” yang diwakili oleh kultus misteri yang feminin dan asing itu. mereka khawatir kultus itu akan merongrong otoritas pria Romawi dengan jalan terlebih dulu merongrong wanita-wanita yang lemah dan rentan.

Bukti tertua yang kita lihat mengenai respon Romawi yang bersikap memusuhi terhadap sebuah kultus asing dan feminin adalah benar-benar tua. Livy menceritakan bahwa selama Perang Punicia Kedua, seorang praetor Romawi mengambil tindakan publik terhadap sebuah praktek keagamaan oleh wanita-wanita Romawi yang oleh Senat sangat tidak disenangi. Kita tidak tahu banyak mengenai hal itu, tetapi para ahli percaya hal itu berkaitan dengan penindasan senatorial lain yang lebih terkenal (pada 186 SEB) terhadap para pemuja dewa Yunani Dionysus (yang juga disebut Bacchus). Pemuja Dionysus disebut Bacchants dan perayaan-perayaan yang menghormatinya disebut Bacchanalia.

Kultus Bacchic telah berabad-abad mapan di Yunani dan mapan di Etruria dan Italia selatan jauh sebelum 186 SEB dan juga sudah cukup lama mapan di Roma. Dengan demikian tindakan Senat terhadap kultus itu dilakukan setelah Senat mentolerirnya untuk waktu lumayan lama. Para pemeluknya meliputi para budak dan orang-orang merdeka, orang-orang Romawi dan Latin, dan pria maupun wanita. Kultus itu rupanya terorganisasi secara cukup hirarkis, dengan para pemeluk memberi imam-imam otoritas lumayan besar dalam perilaku kehidupan personal mereka. Bagi anggota-anggota elit Romawi, keanggoptaan yang inklusif dipadukan dengan otoritas itu adalah praktek keagamaan yang aneh dan mengancam. Kultus itu juga terlibat dalam praktek-praktek “ekstatik”—mereka mabuk-mabukan dan setidak-tidaknya berbicara dengan bahasa yang sangat erotik mengenai pertemuan mereka dengan sang dewa.

Meskipun banyak dari propaganda Romawi menentang kultus itu difokuskan pada kritik-kritik terhadap praktek ritual, edict Senat kenyataannya diarahkan untuk menentang organisasi hirarkis kultus itu. Edict itu melarang orang-orang Romawi menjadi imam. Edict itu melarang para penganut untuk berbagi uang dan hak milik dalam bentuk barang. Edict itu melarang para penganut  mengakui otoritas imam-imam Bacchus dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, para pengikut Bacchus bisa mabuk dan berhubungan seks sepuas mereka asalkan pemujaan mereka tidak menciptakan sebuah struktur otoritas religius dan sosial yang tidak bisa dikendalikan oleh anggota-anggota elit Senat. Begitu pula, meskipun propaganda yang Livy ulang-ulang menyerang peranan para wanita dalam kultus itu, apa yang rupanya mendorong Senat mengambil tindakan keras adalah fakta bahwa kultus itu telah menjadi populer di kalangan para pria Romawi. Karena itu, struktur kultus yang ada pasti telah memungkinkan otoritas para wanita atas kehidupan sehari-hari para penganut pria yang sepenuhnya merongrong otoritas tradisional pater familias Romawi.

Timing tindakan Senat juga menarik. Para Senator jelas sudah cukup lama mengetahui kultus itu dan aktivitas-aktivitasnya sebelum mereka beruasha menindasnya. Mengapa tidak dari dulu? Para serdadu Romawi yang baru saja kembali dari aktivitas pertama Romawi yang berkepanjangan di negeri asing pasti tidak senang pada gangguan itu. Sekutu-sekutu Roma, yang mentolerir, meskipun tidak mendorong, kultus-kultus Bacchic itu mungkin menunjukkan perasaan tidak senang pada campur tangan otoritas Romawi dalam urusan domestik mereka justru ketika Roma membutuhkan bantuan mereka untuk melawan Hannibal. Meskipun begitu, popularitas kultus itu mengisyaratkan sesuatu kebutuhan dalam populasi Romawi yang tidak bisa dipenuhi oleh praktek-praktek keagamaan negara yang sudah ada. Banyak ahli percaya bahwa keputusan Senat untuk mengimpor kultus Magna Mater, tetapi di bawah kontrol yang kaku, sebenarnya merupakan sebuah usaha untuk memenuhi kebutuhan itu dengan cara yang tidak mengancam otoritas mereka. Tetapi kultus Bacchic itu mampu bertahan hidup, setidak-tidaknya di luar Roma, dan yang jelas secara lebih diam-diam ketimbang sebelum jaman penindasan. Seyoganya anda memikirkan penerimaan Bacchus di Roma ketika anda memikirkan penerimaan Roma terhadap Yesus beberapa abad kemudian.

Sumber: Bahan kuliah Sejarah Peradaban Romawi; http://abacus.bates.edu/

Terjemahan: Bern Hidayat, 23 Desember 2009

Lecture 15

Mata kuliah: Ancient and Medieval History

Professor Steven Kreis

KRISTIANITAS SEBAGAI SEBUAH REVOLUSI KEBUDAYAAN

Ketika Kristianitas masuk ke Kekaisaran Romawi, ia melakukan salah satu revolusi kebudayaan yang mungkin paling signifikan dalam sejarah Barat. Secara umum, nilai-nilai Kristen bertentangan secara langsung dengan nilai-nilai pemikiran klasik, yaitu tradisi Greko-Roman. Tradisi itu mengajarkan bahwa manusia harus mencari kehidupan yang baik sekarang ini, di dunia ini, di dunia masa kini—dan bagi orang-orang Romawi, itu berarti Kekaisaran. Kristianitas mengajarkan bahwa eksistensi duniawi kita hanyalah sebuah persiapan untuk kehidupan sesudah mati. Kehidupan kita di atas bumi bersifat sementara, sebuah terminal sebelum perjalanan menuju kehidupan kekal. Dunia kasat mata adalah dunia pengasingan. Kita semua dipandang sebagai tawanan dalam Gua Plato.

Kristianitas mula-mula muncul sebagai sebuah agama misteri atau kultus misteri—salah satu dari sekian banyak yang sudah ada. Bagi banyak kultus misteri, keselamatan akan datang dari asosiasi seseorang, melalui sebuah upacara mistik, dengan seorang hero yang telah mengalahkan kematian. Yesus bisa dipandang sebagai salah satu hero seperti itu. ia menyatakan kepercayaan para pengikutnya karena ia telah bangkit dari kematian. Tetapi berbeda dari kultus-kultus misteri yang lain, keselamatan bagi orang-orang Kristen menuntut ritual-ritual, misteri-misteri, dan sakramen-sakramen. Keselamatan juga menuntut kehidupan moral. Yesus juga seorang figur historis—ia seorang manusia nyata, bukan seseorang hero mitos seperti dalam kultus-kultus misteri yang lain.

Dari sekitar tahun 100 sampai 337, Gereja di Kekaisaran merupakan sebuah sekte yang illegal dan dianiaya. Meskipun begitu, Gereja berhasil memperbesar penganut. Gereja juga mengembangkan sekumpulan opini teologis dan administratif yang koheren. Memasuki awal abad ke-4, kepercayaan Kristen telah memasuki sebagian besar Kekaisaran Romawi: itu adalah agama terbesar dalam Kekaisaran. Alasan pertumbuhan itu beraneka ragam. Misalnya, komunitas-komunitas Yahudi tersebar di seantero Kekaisaran dan orang-orang Kristen yang bergerak dari komunitas yang satu ke komunitas lainnya bisa mengajarkan ide-ide mereka dalam sinagoga-sinagoga Yahudi. Orang-orang Kristen juga mewarisi kitab-kitab suci Yahudi dengan 39 kitab Perjanjian Lama (ditulis dalam bahasa Hibrani). Dan setelah Konsili Nicea pada 325, ke-27 kitab Perjanjian Baru (tertulis dalam bahasa Yunani) juga tersedia. Kristianitas juga memberikan janji keselamatan umat manusia, bahwa yang lemah akan mewarisi dunia ini.

Tetapi orang-orang Yahudi dan Kristen dianiaya karena tidak mau mengikuti agama sipil Romawi. Agama itu menuntut kesetiaan publik pada negara, pada pendiri Roma, dan pada pantheon tradisional dewa-dewa serta dewi-dewi Romawi. Orang-orang Kristen dan Yahudi tidak mau tunduk pada perintah itu. Akibatnya, mereka menjadi sasaran kebencian dan penistaan di kalangan populasi yang mayoritas kafir. Jumlah penganiayaan itu sendiri relatif kecil, tetapi bahklan meatian satu orang mempunyai signifikansi luas karena orang itu lalu menjadi martir. Itu adalah konsekuensi yang tidak terduga dari penganiayaan Romawi. Para martir itu menjadi penting karena mereka mati sambil teap memeluk kepercayaan mereka. Kita mempunyai imaji-imaji dalam benak kita, yang sebagian besar disediakan oleh Hollywood, tentang orang-orang Kristen dan Yahudi yang dilemparkan ke depan singa-singa yang kelaparan dalam sirkus, atau yang diikat di atas tumpukan kayu dan dibakar hidup-hidup. Fakta bahwa banyak dari mereka tidak pernah menjerit-jerit ketika hendak mati secara mengerikan itu pasti menanamkan kesan mendalam pada banyak penonton. Bagaimana bisa orang-orang itu tidak menderita ketika berhadapan dengan maut yang tidak kenal ampun—begitu mungkin tanya mereka dalam hati. Dewa mereka pasti sangat sakti—kepercayaan mereka pasti luar biasa. Dan karena itu martir-martir itu berdiri tegak sebagai simbol-simbol perkasa bagi iman dan integritas orang-orang Kristen.

Pertobatan Constantine di awal abad ke-4 merupakan event politis dan psikologis. Ia berusaha memasukkan gereja Kristen kedalam urusan pemerintahan di Constantinople. Ini adalah gagasan yang tipikal Romawi: jangan mendominasi, tapi akomodasilah. Memasuki tahun 330an, misalnya, Constantine memberikan kebebasan penuh untuk beribadah pada semua orang Kristen, mengembalikan harta milik mereka yang dahulu disita negara, mengijinkan properti milik gereja tidak membayar pajak. Meskipun Constantine membuat Kristianitas menjadi agama kesayangan Kekaisaran, Kristianitas menjadi agama yang mapan atau formal baru pada tahun 391, ketika kaisar Theodosius (c.346-395) menyatakan bidaah sebagai pelanggaran hukum dan menutup semua kuil kafir Romawi.

Para intelektual, atau teolog, Kristen di Kekaisaran Romawi kemudian dengan cepat bergerak menggarap sebuah teologi yang sistematik. Dengan kata lain, mereka harus menciptakan satu kumpulan kepercayaan-kepercayaan yang akan diterima oleh semua orang Kristen. Mereka juga mengembangkan sebuah pemerintahan yang sistematik dalam gereja. Mereka meyakini diri sendiri, sebagaimana orang-orang Yahudi di jaman terdahulu, sebagai sebuah komunitas yang dipersatukan oleh iman maupun disiplin. Rasa kesatuan di antara mereka itu menjadi dasar bagi dua hal: (1) sebuah konstitusi gereja, yang menetapkan hukum-hukum dan menetapkan otoritas; dan (2) dogma, atau sekumpulan opini yang dimapankan dan yang didasarkan pada otoritas gereja.

Meskipun begitu, ada orang-orang yang mengembangkan sekte-sekte mereka sendiri di dalam gereja: para bidaah. Untung bagi gereja, berbagai bidaah yang bermunculan di tiga atau empat abad pertama setelah kelahiran Kristianitas memaksa gereja untuk mendefinisikan teolognya secara jauh lebih kaku. Dalam arti tertentu, penyimpangan dalam gereja bukan mengarah pada perpecahan, tetapi justru semakin meningkatkan kekuatan dan otoritasnya. Kenyataannya, tanpa bidaah-bidaah itu Kristianitas pasti tidak akan menjadi seperti sekarang ini. Sebagaimana St Paulus katakan, “bidaah juga harus ada.” Ada banyak bidaah di gereja purba. Beberapa bidaah seperti orang-orang Gnostik percaya bahwa penguasaan pengetahuan khusus akan menjamin keselamatan manusia.  Bagi orang-orang Gnostik, Yesus adalah seorang manusia nyata bagi siapa kekuasaan untuk membebaskan datang dari atas. Ia tidak ilahi dan juga bukan anak Allah. Bagi orang-orang Gnostik ada dua tuhan: yang satu bisa diketahui, yang lain tidak. Alam semesta ini adalah sebuah penjara—kita terjebak di dalam tubuh fisik kita sendiri. Satu-satunya keselamatan adalah lewat pengetahuan, gnosis (pencerahan batin, pencerahan ilahi). Ada sekolah-sekolah, sekte-sekte, tulisan-tulisan, dan guru-guru, mitos-mitos, dan gereja-gereja  Gnostik. Secara umum, orang-orang Gnostik merasakan suatu kerinduan pada suatu firdaus yang telah hilang, yang hanya bisa diketahui lewat pengetahuan khusus.

Signifikansi dari doktrin-doktrin bidaah seperti itu—dan Gnostik  hanyalah satu dari lusinan sekte bidaah—adalah bahwa kemunculan mereka justru memperkuat gereja. Gereja juga diperkuat ketika ia mendefinisikan kanon kitab-kitab suci: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Gereja juga mendeklarasikan bahwa jaman inspirasi ilahi telah berakhir, untuk membungkam klaim-klaim para nabi yang jumlahnya semakin membengkak dari masa ke masa.

Perkembangan paling signifikan adalah perkembangan sebuah pemerintahan formal dalam gereja. Uskup-uskup menjadi pemimpin-pemimpin gereja dan mempunyai otoritas atas imam-imam, yang pada gilirannya memegang otoritas atas umat. Struktur politis itu memberi orang-orang Kristen sebuah bentuk pemerintahan yang stabil, yang tidak dimiliki oleh agama misteri lain di masa itu. Pemerintahan gereja bahkan menyaingi pemerintahan negara Romawi, setidak-tidaknya sampai Kristianitas kemudian menjadi agama kesayangan di bawah Constantine.  Jumlah uskup di Gereja purba tidak pernah besar, jadi uskup-uskup mempunyai otoritas atas wilayah yang luas. Dan ada kota-kota, seperti Roma dan Alexandria, yang mengklaim superioritas atas kota-kota lain. Akhirnya seorang uskup Roma menjadi kepala Gereja dan mengambil gelar “papa” dan akhirnya menyebut dirinya sendiri Pope (Paus). Dengan demikian, mulai tahun 300an, gereja telah memiliki semua karakteristik yang kelak akan dipelihara sampai sepanjang Abad Pertengahan: sesuatu bentuk pemerintahan, sebuah teologi, kitab-kitab suci, ritual-ritual, martir-martir, santo-santa dan, tentu saja, kepercayaan para penganutnya.

Sepanjang abad ke-4 dan 5, para pemikir Kristen—yang disebut “Bapa-bapa Gereja”—secara konstan berusaha mensistematikkan teologi. Untuk melakukan hal itu, mereka terpaksa menggunakan pengetahuan dan sastra tradisi Greko-Roman. Meskipun begitu, mereka menganggap bahwa tradisi itu penuh dengan kebohongan dan hal-hal yang tidak senonoh. Sebenarnya hal terpenting yang mereka pelajari atau pinjam dari kebudayaan klasik itu adalah dua buah teknik. Yang pertama adalah seni eksegesis, sebuah bentuk kritik di mana seorang penulis mengetengahkan sebuah kritik dan interpretasi secara baris demi baris atas sebuah karya tulis. Pengkajian-pengkajian eksegetis menjadi grand commentaries mengenai kitab-kitab Perjanjian Lama dan Baru. Teknik yang kedua adalah seni retorik, yaitu seni gaya, presentasi, dan komposisi. Signifikansi dari hal ini tidak bisa diremehkan, sebab melalui Bapa-bapa Gereja lah maka banyak dari teks-teks Yunani dan Romawi disampaikan dari generasi ke generasi. Dengan cara itu tradisi Yudeo-Kristen menjadi terakomodasi dengan tradisi Greko-Roman.

Teks-teks itu—Plato, Zeno, Aristotle, Horace, Cicero, Homer, Virgil dan yang lain-lain—dipelihara, disalin, dan diwariskan karena Bapa-bapa Gereja merasa mereka akan bermanfaat dalam teologi Kristen maupun dalam pendidikan Kristen. Hal ini tercapai karena Perjanjian Lama telah diterjemahkan dari bahasa Hibrani ke bahasa Yunani, dan Perjanjian Baru juga sudah tertulis dalam bahasa Yunani. Kedua teks itu sudah ada sebelum Bapa-bapa Gereja abad ke-4, tetapi komentar-komentar mereka mengenai teks-teks itu juga sama-sama penting karena komentar-komentar itu memungkinkan Kristianitas menggapai jauh lebih banyak orang.

Yang juga efektif dalam penyebaran Kristianitas dan ide-ide Kristen pada umumnya adalah gerakan monastik. Orang-orang Kristen yang bergabung dengan biara-biara berusaha menghayati kehidupan “ideal-ideal asketik” atau pertapa. Orang yang menghayati ideal seperti itu menyingkuri dunia untuk mengabdikan diri pada ibadah. Dengan menyingkiri kesenangan duniawi atau material, para rahib menjadi pahlawan peradaban Kristen karena mereka menjadi teladan yang kasat mata tentang kepercayaan manusia pada Sabda Allah.

Orang yang pergi dari rumahnya dan beribadah sebagai seorang pertapa mendapatkan bahwa ia tidak bisa melakukan hal itu sendirian. Yang dibutuhkan adalah sebuah komunitas dan karena itu memasuki abad ke-5 gagasan tentang biara mendapatkan daya tarik sangat besar di Barat. Di Irlandia, klan-klan dan suku-suku bersama-sama mengadopsi kehidupan monastik. Mereka mengangkat seorang “abbot” [bahasa Aramaik abba, bapa]—orang awam yang hidup di biara dan mengelola semua kontak dengan dunia luar. Para rahib Irlandia melakukan  perjalanan ke seluruh penjuru Eropa daratan sambil membangun biara-biara di tengah perjalanan mereka.

Tetapi dari gerakan monastik yang umumnya semrawut itu muncul  St. Benedict (c.480-c.543) dari Italia yang mengawali penertiban. Benedict menggariskan sebuah aturan bagi komunitas-komunitas monastik yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan dan fungsi-fungsi. Konstitusi yang ia kembangkan memberikan otoritas penuh pada abbot—abbot diangkat untuk seumur hidup dan tidak bisa digantikan. Yang disebut Benedictine Rule meliputi: semua rahib harus memanjatkan doa pada interval-interval tertentu pada siang dan malam hari. Semua rahib juga diwajibkan bekerja keras—hal ini memberikan derajat tinggi pada kerja keras, suatu hal yang diemohi oleh orang-orang Romawi.

Sepanjang masa hidupnya, Benedict mendirikan 12 komunitas monastik kecil-kecilan, yang terpenting berlokasi di Monte Cassino, dekat Naples. Rahib-rahib itu mempengaruhi hampir setiap aspek dari kehidupan abad menengah awal. Mereka adalah para petani yang paling sukses. Mereka mengelola tanah-tanah luas dan memberikan contoh-contoh tentang praktek pertanian yang baik. Mereka juga orang-orang yang paling melek huruf dan terdidik. Mereka mengorganisir “scriptoria” atau kantor-kantor juru tulis di mana mereka menyalin naskah-naskah—baik sekuler maupun religius—dan naskah-naskah berhias  atau “illuminated.” Raja-raja dan pangeran-pangeran Eropa merekrut rahib-rahih itu sebagai pegawai dan hampir semua catatan administratif dari masa itu ditulis oleh para juru tulis rahib.

Biara-biara itu penting sebab organisasi komunal mereka memungkinkan para rahib untuk mengatasi masalah-masalah usia sambil pada saat yang sama mereka menjadi hero peradaban Kristen. Mereka menghindar dari kesemrawutan jaman mereka tetapi tidak secara individual. Lebih tepat lagi, komunitas-komunitas monastik seperti Monte Cassino, mengumpulkan para rahib yang saleh menjadi satu. Beberapa bekerja di ladang-ladang, yang lain dalam pabrik pembakaran roti, yang lain lagi mungkin mengurusi pemerasan anggur. Tetapi temperamen asketik mengajarkan para rahib itu untuk menabung dan berinvestasi untuk masa depan. Dengan menghindari kemewahan atau dengan tidak langsung mengkonsumsi semua yang mereka hasilkan, para rahib mendapatkan kesuksesan ekonomis yang lumayan besar.

Berhemat bagi masa depan nalar bagi rahib Benedictine. Berhemat juga pas sekali dengan ideal asketik mereka tentang pengingkaran-diri di dunia kesenangan-kesenangan material. Selama abad ke-7 dan 8, biara-biara Benedictine dan Celtic (Irlandia) memainkan peranan vital dalam Kristenisasi bekas Kekaisaran Romawi. Tetapi lama kelamaan mereka tidak lagi menjadi komunitas-komunitas yang menopang agama yang sangat personal. Di tingkat terjelek, mereka menjadi korban eksploitasi para abbot  awam. Di tingkat terbaik, mereka menjadi komunitas-komunitas spiritual yang eksis untuk melayani kepentingan-kepentingan para pendiri mereka yang aristokratik.

Memasuki awal abad ke-9, monastikisme berhenti menjadi panggilan bagi segelintir orang. Sebagai gantinya, monastikisme menjadi sebuah gaya hidup yang sangat berpengaruh dan terbelit oleh keluarga-keluarga besar dan kaya yang terlibat dalam kehidupan sehari-hari daerah pedesaan masa abad menengah awal. Pada saat yang sama, tujuan ordo monastik berubah. Para rahib telah berpaling dari mengejar keselamatan personal, dan sebagai gantinya mereka mulai menjadi penghubung dengan Tuhan atas nama masyarakat. Peranannya pada dasarnya berubah menjadi klerik, dan mereka menjadi klerik kelas profesional yang mengurusi kesejahteraan masyarakat. Untuk menjadi seorang rahib pada abad ke-9 menuntut kompetensi profesional dan komitmen—kesalehan personal praktis lenyap.  Jajaran monastik menjadi penuh bukan dengan orang-orang yang tertarik pada kesempurnaan personal,  melainkan dengan anak-anak para patron aristokrat, yang percaya bahwa mereka dan keluarga mereka akan menjadi lebih dekat dengan Tuhan jika mereka membangun dan mengelola biara-biara di atas tanah milik mereka. Maka mulailah para rahib memandang diri mereka sendiri sebagai “serdadu-serdadu Kristus,” yang berjuang untuk melestarikan kesejahteraan clergy  dan kaum beriman, raja dan kerajaannya.

Memasuki abad ke-11 dan 12, serangkaian pembaharuan monastik besar-besaran melanda seluruh Eropa dan ordo-ordo monastik baru seperti Fransiskan dan Dominikan melakukan banyak hal untuk memulihkan ketegaran dan vitalitas orisinil gerakan monastik awal. Monastikisme vital bagi penyebaran Kristianitas di awal Abad Menengah. Tetapi yang karakteristik dari ordo-ordo itu adalah bahwa mereka gagal mempertahankan vitalitas dan tujuan mereka. Hal itu terutama akibat suntikan ideal-ideal aristokratik.

Sumber: www.historyguide.org

Terjemahan: Bern Hidayat, 21 Desember 2009


oleh Pat Zukeran


Ada perdebatan yang sampai sekarang masih terus berlangsung di antara para ahli mengenai akurasi historis Injil. Beberapa orang ahli merasa bahwa injil adalah karya fiktif dan harus dibaca sebagai fiksi sastra. Yang lain merasa injil adalah karya historis akurat yang diilhami oleh Tuhan. Arkeologi telah memainkan peranan besar dalam menentukan apakah Injil bisa dipercaya atau tidak. Di sini kita akan melihat temuan-temuan arkeologis yang menegaskan akurasi historis Perjanjian Baru. Ada banyak bukti dari luar Injil yang menegaskan kisah tentang Yesus sebagaimana ditulis dalam injil-injil.

Meskipun begitu, penting untuk disadari bahwa adalah tidak realistis untuk mengharapkan arkeologi mendukung setiap kejadian dan tempat dalam Perjanjian Baru. Perspekstif kita adalah mencari bukti apa saja yang ada dan melihat apakah bukti itu cocok dengan Perjanjian Baru atau tidak.

Penegasan Historis tentang Yesus

Bukti pertama datang dari keempat injil, dan ini sudah terbukti akurat..{1} Di luar teks injil ada beberapa saksi. Sejarawan Yahudi Josephus (37 A.D.–100 A.D.) mencatat sejarah bangsa Yahudi di Palestina dari tahun 70 EB sampai 100 EB. Dalam bukunya, Antiquities, dia menyatakan:

Sekitar waktu itu ada orang yang bernama Yesus, seorang bijaksana, jika patut menyebutnya orang, sebab ia melakukan banyak perbuatan yang mentakjubkan, guru dari orang-orang yang menerima kebenaran dengan sukacita. Ia berhasil menarik banyak orang Yahudi maupun orang non-Yahudi. Ia adalah Kristus dan ketika Pilatus, atas saran orang-orang terkemuka di antara kita, menjatuhkan hukuman mati padanya di kayu salib, orang-orang yang mencintai dia tidak meninggalkannya. Sebab ia muncul kembali dalam keadaan hidup pada hari ketiga, sebagaimana telah diramalkan oleh nabi-nabi suci beserta sepuluh ribu hal-hal mentakjubkan mengenai dia; dan orang-orang Kristen, yang dinamakan demikian karena mereka mengikuti dia, tidak punah bahkan sampai hari ini.{2}

Meskipun Josephus menyebut-nyebut Yesus dengan cara yang sarkastis, ia menegaskan fakta-fakta bahwa Yesus melakukan banyak mukjijat, berhasil menghimpun pengikut, disalib, dan dinyatakan bangkita kembali dari mati pada hari ketiga.

Pliny Muda, gubernur Bythynia di Turki barat-laut, menulis sebagai berikut kepada Kaisar Trajan pada tahun 112 EB:

Mereka mempunyai kebiasaan berkumpul pada hari tertentu  menjelang fajar, ketika mereka menyanyikan lagu pujian untuk Kristus sebagai Tuhan, dan mengikat diri mereka sendiri dengan sebuah sumpah sepenuh hati untuk tidak melakukan perbuatan jahat, untuk berusaha untuk tidak menipu, tidak mencuri, dan tidak berjinah, untuk tidak pernah melanggar janji mereka, atau mengingkari sebuah kepercayaan ketika dipanggil untuk menghormati kepercayaan itu, setelah itu seperti biasanya mereka berpisah, dan kemudian berkumpul lagi untuk perjamuan makan, tetapi yang biasa-biasa saja dan tidak berbahaya.

Salah seorang sejarawan Romawi terpenting adalah Tacitus. Pada tahun 115 EB ia mencatat penganiayaan Nero terhadap orang-orang Kristen, yang ia nyatakan sebagai berikut:

Kristus, dari siapa nama (Kristen) itu berasal, dijatuhi hukuman mati secara ekstrim selama pemerintahan Tiberius di tangan salah seorang procurator kita, Pontius Pilatus, dan dengan demikian sebuah kepercayaan klenik yang paling menyebalkan untuk sesaat berhasil dikendalikan, tetapi kemudian meledak lagi tidak hanya di Yudea. . . . tetapi bahkan di Roma. {3}

Ada lebih dari 39 sumber-sumber non-injil yang mengetengahkan lebih dari seratus fakta mengenai kehidupan dan ajaran-ajaran Yesus.

Akurasi Injil-injil

Akurasi Injil-injil didukung oleh arkeologi. Nama kota-kota Israel, kejadian-kejadian, dan orang-orang yang digambarkan dalam Injil sekarang telah berhasil dikenali. Beberapa contoh disampaikan berikut ini:

Injil-injil menyebutkan empat kota pantai yang saling berdekatan dan berpenduduk padat sepanjang Laut Galilei: Capernaum, Bethsaida, Chorazin, dan Tiberias. Yesus melakukan banyak mukjijat di tiga kota pertama. Terlepas dari kesaksian itu, kota-kota itu menolak Yesus dan karena itu ia mengutuk mereka (Mateus 11:20-24; Lukas 10:12-16). Kota-kota itu akhirnya lenyap dari sejarah dan selama berabad-abad lokasi mereka tidak diketahui. Kehancuran mereka memenuhi ramalan dan kutukan Yesus.

Belum lama ini arkeologi menemukan kembali lokasi mereka yang mungkin. Tel Hum diyakini sebagai Capernaum. (“Tel” adalah sebuah bukit atau tanah yang bertambah tinggi karena pembangunan yang berulang-ulang dan jangka-panjang di tempat yang sama. Lapisan-lapisan peradaban  bisa ditemukan di strata yang berlainan.) Lokasi Bethsaida dan Chorazin masih belum dikonfirmasikan, tetapi sebuah situs di sebuah tel 1,5 mil di utara garis pantai Galilei diyakini sebagai lokasi Bethsaida, sementara Tel Khirbeth Kerezah, 2,5 mil di barat-laut Capernaum, diperkirakan adalah lokasi Chorazin.

Mateus 2 menyatakan bahwa Yesus lahir di masa pemerintahan Herodes. Sewaktu mendengar bahwa seorang raja telah lahir, Herodes yang ketakutan memerintahkan semua anak-anak di bawah usia dua tahun harus dibunuh. Pembantaian Herodes terhadap anak-anak tak berdosa itu konsisten dengan fakta-fakta historis yang menggambarkan watak Herodes. Herodes curiga pada siapa pun yang ia anggap akan merebut tahtanya. Daftar korban yang ia bunuh mencakup salah seorang dari kesepuluh isterinya—padahal ini adalah isteri kesayangannya—, tiga dari anak-anak lelakinya sendiri, seorang imam agung, seorang mantan raja, dan dua orang suami dari adik perempuan Herodes. Dengan demikian brutalitas yang digambarkan dalam Mateus konsisten dengan deskripsi Herodes dalam sejarah jaman kuno.

Akurasi Yohanes juga telah dibuktikan oleh temuan-temuan mutakhir. Dalam Yohanes 5:1-15, Yesus menyembuhkan seorang pria di Kolam Bethesda. Yohanes menggambarkan kolam itu sebagai memiliki lima portico. Situs itu telah lama dipergunjingkan dan baru berhenti baru-baru ini. Para arkeolog menemukan sebuah kolam dengan lima portico pada kedalaman 40 kaki di bawah permukaan tanah, dan gambaran daerah sekitarnya sesuai dengan gambaran Yohanes. Dalam 9:7 Yohanes menyebutkan situs lain yang juga sudah lama dipergunjingkan, yaitu Kolam Siloam. Tetapi situs itu juga telah diketemukan pada 1897, yang menunjang akurasi Yohanes.

Bukti untuk Pontius Pilatus, gubernur yang memimpin persidangan terhadap Yesus, ditemukan di Caesaria Maritima. Pada 1961, seorang arkeolog Italia bernama Antonio Frova menemukan fragmen sebuah plakat yang digunakan sebagai salah satu bagian anak tangga yang mengarah ke Teater Caesarea. Prasasti itu, yang ditulis dalam bahasa Latin, mengandung frasa, “Pontius Pilatus, Prefect Yudea, telah mempersembahkan kepada rakyat Caesaria sebuah kuil untuk menghormati Tiberius.” Kuil itu dipersembahkan kepada Kaisar Tiberius yang memerintah dari 14-37 EB. Ini secara kronologis sesuai dengan Perjanjian Baru, yang mencatat bahwa Pilatus memerintah sebagai procurator dari 26-36 EB. Tacitus, seorang sejarawan Romawi abad pertama, juga mengkonfirmasikan penggambaran Perjanjian Baru tentang Pilatus. Ia menulis, “Kristus, dari siapa nama (Kristen) itu berasal, dijatuhi hukuman mati secara ekstrim selama pemerintahan Tiberius di tangan salah satu procurator kita, Pontius Pilatus . . . . .”

Konfirmasi tentang Penyaliban

Keempat Injil memberikan detil-detil tentang penyaliban Kristus. Penggambaran mereka yang akurat mengenai praktek Romawi itu telah dikonfirmasikan oleh arkeologi. Pada 1968, ditemukan sebuah situs kuburan di kota Yerusalem yang berisi 35 mayat. Semua orang itu dahulu mengalami kematian brutal, yang oleh para sejarawan diyakini sebagai akibat dari keterlibatan mereka dalam pemberontakan Yahudi melawan Roma pada tahun 70 EB.

Prasasti mengidentifikasikan seorang individu sebagai Yohan Ben Ha’galgol. Penelitian terhadap tulang belulangnya yang dilakukan oleh para osteolog dan dokter dari Hadassah Medical School menyimpulkan bahwa lelaki itu berusia 28 tahun, dengan tinggi lima kaki 6 inci, dan mempunyai cacat wajah akibat langit-langit kanan yang mengeriput.

Yang membuat [para arkeolog tergugah adalah bukti-bukti bahwa orang itu telah disalib dengan cara mirip penyalibanKristus. Sebuah paku sepanjang tujuh inci menembus kedua mata kakinya, yang dipuntir sedemikian rupa sehingga pakunya bisa ditembuskan ke bagian tendon Achilles.

Para arkeolog juga menemukan paku-paku yang ditembuskan ke kedua lengan tangan bagian bawah. Seorang korban penyaliban akan berusaha mengangkat dan menurunkan tubuhnya agar bisa bernafas. Untuk itu ia harus mendorong tubuhnya dengan pijakan kedua kaki yang telah ditembus paku dan menarik tubuh dengan kedua lengannya. Kedua lengan atas Yohan tergosok sampai halus, yang menunjukkan dilakukannya gerakan tersebut.

Yohanes mencatat bahwa untuk mempercepat kematian seorang pesakitan, para algojo meremuk kedua kaki korban sehingga ia tidak dapat mengangkat tubuhnya sendiri dengan jalan mendorong dengan kedua kakinya (19:31-33). Kedua kaki Yohan ditemukan remuk akibat sebuah pukulan, yang menghancurkan kedua kaki itu di bawah tempurung lutut. Gulungan-gulungan kitab Laut Mati menceritakan bahwa baik orang-orang Yahudi maupun Romawi membenci penyaliban karena kekejaman dan penistaannya. Gulungan-gulungan kitab itu juga menyatakan bahwa penyaliban adalah bentuk hukuman yang khusus dijatuhkan pada budak-budak dan siapa pun yang menantang kekuasaan penjajah Roma. Hal itu menjelaskan mengapa Pilatus memilih penyaliban sebagai hukuman untuk Yesus.

Terkait dengan penyaliban, pada 1878 ditemukan sebuah lempengan batu di Nazareth dengan sebuah pernyataan dari Kaisar Claudius yang memerintah dari 41-54 EB. Dinyatakan di situ bahwa kuburan-kuburan tidak boleh dikutak-katik dan mayat-mayat tidak boleh dipindahkan. Berbeda dari hukuman yang dinyatakan dalam dekrit-dekrit lain, dekrit yang satu ini memberikan ancaman hukuman mati untuk orang yang melanggarnya dan dekrit itu dilontarkan sangat dekat dengan waktu kebangkitan kembali Kristus. Barangkali hal itu adalah hasil dari penyelidikan Claudius terhadap huruhara yang marak pada tahun 49 EB. Claudius pasti telah mendengar tentang kebangkitan kembali itu dan tidak menginginkan insiden-insiden serupa terjadi. Dekrit itu barangkali dibuat sehubungan dengan ajaran para Rasul tentang kebangkitan kembali Yesus dan bantahan orang-orang Yahudi yang menyatakan bahwa tubuh Yesus telah dicuri.

Sejarawan Thallus menulis pada tahun 52 EB. Meskipun teks-teksnya tidak ada yang tersisa sampai sekarang, karyanya dikutip oleh karya Julius Africanus, Chronography. Dengan mengutip Thallus mengenai penyaliban Kristus, Africanus menyatakan, “Di seluruh penjuru dunia, turunlah kegelapan yang sangat menakutkan, dan batu-batu dirobek oleh gempa bumi, dan banyak tempat di Yudea dan distrik-distrik lain hancur rata dengan tanah.”{4} Thallus menyebut kegelapan itu “menampakkan diri padaku tanpa alasan, sebuah gerhana matahari.”{5}

Semua temuan yang dinyatakan itu konsisten dengan detil-detil dalam kisah penyaliban yang disampaikan oleh para penulis Injil. Fakta-fakta itu secara tidak langsung mendukung kisah Injil tentang penyaliban Yesus dan fakta bahwa makam itu kosong.

Akurasi Historis Lukas

Dahulu para ahli menganggap paparan-paparan historis Lukas dalam Injil Lukas dan Kisah Para Rasul sebagai tidak akurat. Tidak ada bukti untuk beberapa kota, orang, dan lokasi yang ia sebut-sebut dalam tulisan-tulisannya. Tetapi temuan-temuan arkeologis telah membuktikan bahwa Lukas adalah seorang sejarawan yang sangat akurat dan kedua kitab yang ia tulis itu merupakan dokumen-dokumen sejarah yang sangat akurat.

Salah satu arkeolog terbesar adalah almarhum Sir William Ramsay. Ia belajar di sdekolah-sekolah sejarah Jerman liberal yang terkenal di pertengahan abad ke-19. Terkenal karena penelitiannya yang begitu banyak, sekolah-sekolah itu mengajarkan bahwa Perjanjian Baru bukanlah dokumen historis. Dengan premis itu, Ramsay menyelidiki klaim-klaim injili sementara ia melakukan penelitian di seluruh penjuru Asia Minor. Apa yang ia temukan membuatnya berbalik pendapat 360 derajat. Ia menulis:

Saya mengawali dengan pikiran yang tidak memihak [Kisah Para Rasul], karena pada waktu itu saya teori Tubingen terasa begitu jenius dan sempurna. Dengan demikian bukanlah kebiasaan saya untuk menyelidiki sesuatu secara sangat njlimet; tetapi belakangan saya sering melakukan kontak dengan Kisah Para Rasul sebagai sebuah otoritas untuk topografi, sejarah jaman kuno, dan masyarakat Asia Minor. Sedikit demi sedikit saya disadarkan bahwa dalam berbagai detil naratif itu menunjukkan kebenaran yang mentakjubkan{6}

Akurasi Lukas dibuktikan oleh fakta bahwa ia menyebutkan tokoh-tokoh historis kunci dalam urutan waktu yang benar serta gelar-gelar yang benar untuk para pejabat pemerintah di daerah-daerah yang berlainan: “politarch” untuk Thessalonica, “punggawa kuil” untuk Ephesus, “prokonsul” untuk Cyprus, dan “orang pertama di pulau” untuk Malta.

Ketika mengumumkan pelayanan publik Yesus, Lukas (3:1) menyebutkan, “Lysanius tetrarch Abilene.” Para ahli mempertanyakan kredibilitas Lukas mengingat satu-satunya Lysanus yang sudah selama berabad-abad dikenal adalah seorang penguasa Chalcis yang berkuasa dari 40-36 SEB. Tetapi sebuah prasasti yang berasal dari masa pemerintahan Tiberius, yang memerintah antara 14-37 EB) diketemukan, dan prasasti itu menyatakan sebuah kuil dipersembahkan oleh Lysanus “tetrarch Abila” dekat Damaskus.  Ini cocok sekali dengan cerita Lukas.

Dalam Kisah Para Rasul 18:12-17, Paulus dibawa ke hadapan Gallio, prokonsul Achaea. Sekali lagi arkeologi menegaskan cerita itu. Di Delphi diketemukan sebuah prasasti sebuah surat dari Kaisar Claudius. Di dalamnya Claudius menyatakan, “Lucius Junios Gallo, sahabatku, dan prokonsul Achaea. . . . “{7} Para sejarawan menyatakan prasasti itu berasal dari tahun 52 EB, yang cocok dengan masa rasul Paulus tinggal di sana, yaitu pada tahun 51.

Dalam Kisah 19:22 dan Roma 16:23, Erastus, seorang rekan kerja Paulus, disebutkan sebagai bendahara kota Corinth. Para arkeolog yang tengah melakukan penggalian di sebuah teater Corinth pada 1928 menemukan sebuah prasasti. Tulisan di prasasti itu berbunyi, “Erastus sebagai imbalan atas jabatan kepala dinas pekerjaan umum melakukan pengerasan jalan dan halaman ini dengan uangnya sendiri.” Pengerasan itu dilakukan pada tahun 50 EB. Istilah bendahara menggambarkan pekerjaan seorang kepala dinas pekerjaan umum (aedile) Corinth.

Dalam Lukas 28:7, Lukas memberi Plubius, petinggi pulau Malta, gelar “orang pertama di pulau.” Para ahli mempertanyakan gelar yang aneh itu dan menganggap hal itu ahistoris. Prasasti-prasasti yang baru-baru ini diketemukan di pulau itu memang memberi Plubius gelar “orang pertama.”

“Secara keseluruhan, Lukas menyebut nama 32 negeri, 54 kota, dan 9 pulau tanpa keliru, “{8} tulis A. N. Sherwin-White, “Bagi Kisah Para Rasul, penegasan historisitasnya benar-benar luar biasa . . . . . Sekarang setiap usaha untuk menolak dasar historisitas itu pasti terasa absurd. Para sejarawan Romawi sendiri tidak pernah mempertanyakan historisitas Kisah Para Rasul.”{9}

Kain Kafan Turin

Injil-injil mencatat bahwa sesudah penyaliban, Yesus dibungkus dengan sebuah kain lena panjang dan dibaringkan di sebuah makam (Mateus 27:59). Yohanes mencatat bahwa ketika Petrus menyelidiki makam yang kosong itu, ia menemukan kain kafan itu terlipat rapi di samping tempat tadinya Kristus dibaringkan  (20:6-7).

Sebuah kain kafan lena yang disebut Kain Kafan Turin, yang dipajang di Vatican, telah lama dinyatakan sebagai kain kafan Yesus. Kain itu berukuran panjang 14.25 kaki dan lebar 3.5 kaki. Di atasnya tertera bekas tembusan pergelangan tangan dan pergelangan kaki yang diyakini sebagai bekas-bekas luka Kristus.

Kain kafan itu pertama kali muncul sebagai pajangan pameran umum sesudah tahun 1357 di Lirey, Perancis. Dahulu seorang knight bernama Geoffrey de Charny membawa kain kafan itu ke Perancis. Pada 1453 cucu perempuan de Charny memberikan kain kafan itu kepada Duke of Savoy, yang kemudian pada 1578 membawanya ke Turin, Italia. Pada 1983 kain itu diwakafkan kepada Vatican.

Pada 1898 Secondo Pia memotret kain kfan itu dan meyakini imagenyua sebagai image negatif sebuah foto. Hal itu menambah misteri kain kafan itu, sebab fotografi belum diketemukan di abad menengah. Pada 1973 sekelompok ahli menegaskan fakta bahwa tidak ditemukan adanya pigmen cat bahkan di bawah pemeriksaan mikroskop. Bagi banyak orang, hal itu dianggap bukti otentisitas kain kafan tersebut.

Penyelidikan yang paling ekstensif dilakukan pada 1977. Sebuah tim internasional yang terdiri dari para ilmuwan dari Swiss, Amerika, dan Italia mempelajari kain kafan itu selama lima hari di Savoy Royal Palace di Turin. Mereka menggunakan peralatan seberat enam ton dan menghabiskan biaya sebesar 2,5 juta dollar untuk penelitian mereka. Itu merupakan salah satu artefak yang dipelajari secara paling intens sepanjang masa.

Penelitian itu tidak mampu menetapkan otentisitas kain tersebut. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan kemudian membuktikan bahwa image itu mengandung darah maupun aragonite, sebuah kalsium karbonat khusus yang biasa ditemukan di makam-makam abad pertama Yerusalem. Kriminolog Swiss Max Frei menemukan 48 sampel serbuk benang sari, tujuh di antaranya kemungkinan besar berasal dari tanaman yang tumbuh di Palestina. Tenunan kain itu mengikuti sistem herringbone twill, sebuah gaya yang ada hanya di jaman kuno.

Meskipun temuan-temuan itu mendukung otentisitas kain kafan itu, temuan-temuan lain membuktikan kebalikannya. Pada 1987, kain kafan itu diuji dengan karbon-14 untuk mengetahui usianya. Laboratorium-laboratorium di Oxford, Zurich, dan University of Arizona menguji kain itu. Hasilnya menunjukkan bahwa kain itu berasal dari abad ke-14. Kesimpulan itu sampai sekarang masih digugat dan tes-tes masih akan dilakukan di masa mendatang. Satu masalah lain: koin-koin yang dicetak oleh Pontius Pilatus diletakkan di atas mata sosok mayat tersebut. Itu bukan adat istiadat Yahudi, dan kecil kemungkinannya Yosef dari Arimatea atau Nikodemus akan menempatkan di mata Yesus koin dengan gambar pemimpin yang menghukum mati dia sendiri.

Terlepas dari asal-muasal abad ke-14 tadi, para ilmuwan masih belum mampu menjelaskan bagaimana image negatif itu tercipta. Kain kafan itu tetap merupakan sebuah misteri, sekaligus sebuah pelajaran bagi kita kaum beriman untuk tidak mendasarkan iman kita pada hal-hal misterius.

Notes

  1. Lihat “Authority of the Bible” at http://www.probe.docs/auth-bib.html.
  2. Josephus, Book 18, Chapter 3:3
  3. Tacitus, Annals, 15.44
  4. Julius Africanus, Chronography, 18:1.
  5. Ibid.
  6. William Ramsay, St. Paul the Traveler and the Roman Citizen (Grand Rapids, MI: Baker Books, 1982), 8.
  7. John McRay, Archaeology and the New Testament (Grand Rapids, MI.: Baker Books, 1991), 227.
  8. Norman Geisler, Baker Encyclopedia of Apologetics (Grand Rapids, MI.: Baker Books, 1999), 47.
  9. A. N. Sherwing-White, Roman Society and Roman Law in the New Testament(Oxford: Clarendon Press, 1963), 189.

© 2000 Probe Ministries International


Tentang Penulis

Patrick Zukeran adalah seorang  research associate, dan seorang penceramah nasional serta internasional untuk Probe Ministries. Beliau lulus dari Point Loma Nazarene University di San Diego, California, dan memegang gelar Th.M. dari Dallas Theological Seminary. Beliau mengabdi sebagai pastor selama 10 tahun sebelum bergabung dengan staf Probe Ministries. Beliau adalah penulis buku Unless I See… Reasons to Consider the Christian Faith. Beliau bisa dihubungi lewat e-mail di pzukeran@probe.org.


Sumber: http://www.probe.org

Terjemahan:  Bern Hidayat, 7 Januari 2010.

Kekaisaran menyodorkan seribu satu pilihan agama: dewa-dewa Olympus, kultus-kultus misteri, dan dewa-dewi dari negeri-negeri asing.

Paula Fredriksen:

William Goodwin Aurelio Professor of the Appreciation of Scripture, Boston University

PAGANISME DI DUNIA KUNO

Paganisme adalah apa yang dilakukan oleh 90-sekian persen penduduk kawasan Laut Tengah. Orang-orang Yahudi menonjol karena minoritasnya; dan setiap orang melakukan banyak hal-hal lain. Paganisme sangat bervariasi. Dia lokal. Dia energetik. Dia mempunyai segala lapisan yang berlainan. Dewa-dewa menampakkan diri pada orang-orang secara rutin. Orang-orang senantiasa kontak dengan dewa-dewa mereka. Ada sebuah cerita menarik dalam Kisah Para Rasul, ketika Paulus dan, saya tidak ingat persisnya, Silas atau Barnabas, melakukan penyembuhan di sebuah kota, dan orang-orang yang menyaksikan dia melakukan hal itu lantas menyimpulkan bahwa Zeus dan Hermes telah datang ke kota. Dan imam-imam mulai menggiring keluar seekor hewan untuk disembelih dan dijadikan korban persembahan dan Paulus mengatakan, “No, no, no, no, no ….jangan. . . .ijinkan saya kasih penerangan.” Dan ia mulai bicara. Tetapi itu adalah barometer yang menarik tentang betapa umumnya harapan bahwa dewa-dewa akan muncul. Dewa-dewa memang muncul dalam mimpi-mimpi. Orang-orang tiap malam jatuh tertidur. Jadi ada kontak antara langit dengan bumi, yang diartikulasikan dalam kebudayaan Romawi dan Yunani tradisional.

Jika anda orang kafir yang hidup di abad pertama, pertama-tama anda akan mempunyai dewa keluarga sendiri, pada siapa anda akan bertanggung-jawab. Semacam pemujaan nenek moyang, atau barangkali jika anda seorang Romawi ningrat. Venus atau salah satu dari dewa-dewa lain, sebagaimana dengan keluarga Julius Caesar, mungkin adalah salah satu nenek moyang pendiri garis keluarga anda. Anda akan mempunyai dewa-dewa kota itu sendiri.  Dan dewa-dewa kota itu, bersama dewa-dewa Kekaisaran, yang akan mengatur waktu anda. Karena dewa-dewa kota dan hari-hari raya kenegaraan memberi anda hari-hari libur. Liburan lima hari adalah pesta dewa ini atau dewi itu. Secara literal, ketika setiap orang berhenti bekerja dan para patron kaya membiayai pesta-pesta.

Ada segala macam agama. Itu luar biasa kaya. Itu tidak beda dari Amerika abad ke-20. Anda mempunyai agama-agama low-tech, seperti magic.  Orang-orang secara rutin pergi ke dukun magic. Jika anda menderita infeksi sinus. Jika anda ingin seseorang jatuh cinta pada anda. Jika anda memasang taruhan dalam pacuan kuda dan sudah tiga kali pacuan terakhir anda kalah taruhan, anda pergi ke seorang profesional. Kita mempunyai buku-buku magic yang seperti buku resep masakan, dan buku-buku itu diindeks dan anda bisa mencari apa yang anda butuhkan, dan si profesional akan membantu anda. Dan jangan lupa, orang-orang Yahudi maupun Kristen juga kebagian warisan magic ini. . . . . .

Itu adalah sebuah dunia spiritual yang berjubelan dengan dewa-dewa dan roh-roh. Ketika anda mendongak ke langit dan menatap bintang-bintang, anda melihat ribuan hero dan . . . . . dan mungkin tempat ke mana roh anda akan mengarah jika anda tahu caranya. Paganisme adalah gado-gado agama pribumi yang kaya milik masyarakat tradisional di kawasan Laut Tengah. Dan bahkan berabad-abad setelah pertobatan Constantine, kita menemukan sumbangan untuk liturgi-liturgi, untuk kultus-kultus misteri, untuk dewa-dewa Greko-Roman dan Mesir yang berbeda-beda. Paganisme jalan terus bahkan setelah pertobatan Constantine.

Holland Lee Hendrix:

President of the Faculty, Union Theological Seminary

SEBUAH SUPERMARKET AGAMA

Di Kekaisaran Roma anda mendapatkan seribu satu pilihan. Itu mirip pergi ke supermarket dan bisa memilih Tuhan sesuai keinginan anda. Dan anda mendapatkannya di berbagai kesempatan dalam hidup anda. Jika anda sakit dan mempunyai akses ke seorang dokter dan mampu membayar  perawatan kesehatan, jelas itu akan anda lakukan, tetapi jika dokternya tidak sukses atau jika anda tidak mempunyai akses ke seorang dokter, maka anda bisa pergi ke salah satu sancturary Asclepius.

Tetapi dewa atau dewi utama anda mungkin Athena—Athena dewinya kota. Dan karena itu anda akan ikut ambil bagian dalam perayaan-perayaan kenegaraan diseputar Athena, yang menjadi pelindung kota.  Jika anda seorang petani, atau bahkan jika bukan, tetapi tergantung pada pertanian, jelaslah Dionysus akan menjadi dewa yang sangat penting, dia yang membuat tanaman-tanaman tumbuh. Dionysus adalah sososk tercinta di Kekaisaran Roma—kita menemukan dia di mana-mana.

Ada sejumlah dewa-dewi yang sangat populer. Di daerah pedesaan Pan sangat populer, dan kita akan menemukan lebih banyak grotto Pan jika di situ ada devosi bagi Pan di semak-semak, kuil-kuil untuk berbagai nymphs dan fenomena hutan. Jelas Artemis adalah dewi yang sangat populer. Kenyataannya, salah satu versi Artemis adalah Artemis Lochia yang menunggui kelahiran bayi, dan kita menemukan dedikasi-dedikasi para wanita yang baru saja melahirkan anak-anak atau yang akan melahirkan anak-anak dengan memohon bantuan Artemis Lochea sementara mereka menjalani persalinan. Anda bisa menemukan aneka macam dewa yang memenuhi aneka kebutuhan orang-orang di jaman itu.

KULTUS DEWA-DEWA MESIR

Dalam bauran dewa-dewa masa itu, adalah penting untuk disadari bahwa orang akan menemukan institusi-institusi dan dewa-dewi yang berasal dari tempat-tempat terpencil. Di jaman Hellenistik, di abad ke-3, ke-2 SEB, sejumlah agama sangat penting yang dulu menonjol di Mesir dan Syria, misalnya, mulai bermigrasi dengan cara-cara yang substansial, dengan cara-cara yang sangat penting, ke seluruh penjuru Kekaisaran Roma. Orang akan menemukan di kota-kota besar kawasan Laut Tengah sebuah kultus dewa-dewa Mesir. Orang akan menemukan kultus dewa-dewa Syria. . . . . Kultus Mesir dan Mithraisme adalah dua dari aliran-aliran keagamaan besar di jaman itu dan yang pasti menghadapkan persaingan yang paling berat bagi Kristianitas.

Kultus-kultus Mesir datang dengan aneka macam varietas, tapi mari kita ambil varietas umum sebagai contoh. Kultus Mesir yang paling umum mungkin akan mencakup Isis sebagai dewi yang sedang naik daun. Isis oleh para pengikutnya dipandang sebagai sangat penuh perhatian. Isi akan merespon anda jika anda dalam kesulitan. Ia akan menjawab doa-doa anda. Reputasi itu ada padanya. Yang tidak begitu dekat dengan orang-orang adalah pasangan Isis, Serapis, lagi-lagi  satu makluk dari periode Hellenistik. Serapis tidak sepopuler Isis—di mata orang-orang. Orang sering menemukan dia sebagai pasangan Isis. Serapis dipandang lebih berjarak, sosok yang seperti Jupiter, seperti Zeus, dan kenyataannya sering ditampilkan dalam ikonografi dengan karakteristik-karakteristik Jupiter dan Zeus.

Kemudian dalam kultus Mesir itu orang akan menemukan Harpocrates, dan ini adalah kreasi khas Holly. Hippocrates dipahami sebagai seorang remaja yang mempunyai hubungan dengan Isis. . . . . Hypocrates bercirikan—dalam ikonografi, dan ini sangat menarik—satu  jari melintang di bibirnya, mengisyaratkan orang-orang agar hening dalam menjalani misteri-misteri kultus Mesir.  Misteri-misteri adalah bagian yang sangat penting dalam agama Mesir dan menjadikannya sangat menarik bagi orang-orang karena orang bisa diperkenalkan dengan sesuatu pengetahuan istimewa dan sesuatu cara yang istimewa dalam memandang ini-itu dan barangkali sebuah janji istimewa tentang hidup sesudah mati. . . . . .

IKONOGRAFI  ISIS

Isis ditampilkan dengan sejumlah cara yang berbeda. Kadang-kadang dalam tampilan gaya Mesir-nya yang lebih bersahaja, dalam tampilan di mana dia meramalkan sesuatu yang akan terjadi, dalam tampilan di mana dia agak statis, tetapi orang juga bisa menemukan dia dalam tampilan-tampilan yang lebih Hellenized yang mengingat orang pada, misalnya, Demeter atau Artemis. Ia mengalami Hellenisasi yang sangat penting. Dan kemudian salah satu representasi terpenting Isis adalah apa yang kita sebut Isis lactan, yaitu Isis yang sedang menyusui, menyusui bayinya. Ini adalah ikonografi yang mungkin berpengaruh besar pada ikonografi awal tentang Maria dan Yesus.

L. Michael White:

Professor of Classics and Director of the Religious Studies Program University of Texas at Austin

HUBUNGAN ANTARA KEHIDUPAN KEAGAMAAN DAN KENEGARAAN DI KEKAISARAN ROMA

Agama di kekaisaran Roma, atau apa yang cenderung kita sebut paganisme, sebenarnya adalah urusan yang bersifat sangat publik. Itu adalah gado-gado kepercayaan pada dewa-dewa tua dari pantheon Yunani dan Romawi. Kisah-kisah yang diceritakan dalam mitologi Yunani. Yang disatukan dengan kebanggaan, penghormatan, dan kewajiban kenegaraan atau kemasyarakatan. Istilah liturgi sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti kewajiban-kewajiban, tugas-tugas para magistrat civic dalam melaksanakan hari-hari raya kota. Anda akan pergi dan melaksanakan liturgi-liturgi anda jika anda walikota,  dan [jabatan] itu mempunyai fungsi sipil yang bersifat publik sekaligus fungsi keagamaan yang saleh. . . . . . Untuk menjadi warga polis, kata yang melahirkan istilah politik. . . . . . Untuk menjadi warga polis adalah untuk menjadi bagian dari ekonomi kehidupan manusia yang terbentang dari bumi ke langit—jadi dalam pandangan mereka tentang dunia ini ada hubungan integral antara dewa-dewa yang disembah di kuil-kuil sepanjang jalan sana dengan tugas para magistrat sipil dalam melaksanakan hukum dan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

MITHRAISME

Di front agama, salah satu pesaing terberat Kristianitas adalah kultus dewa Mithras dari Persia. Nah, yang satu ini, seperti Kristianitas, juga merupakan pendatang baru di kekaisaran Roma. Sebenarnya tidak banyak yang kita dengar tentang kultus Mithras sebelum abad kedua, di waktu yang bersamaan dengan saat Pliny mulai mengakui orang-orang Kristen. Tetapi memasuki abad kedua, ada kapel-kapel Mithras. . . . . kapel-kapel Mithras tersebar di sebagian besar kota-kota besar, khususnya di bagian Barat kekaisaran. Nah, Mithras ini sebenarnya adalah seorang dewa yang kita dengar dari teks-teks keagamaan Hindu dan Zoroaster yang sudah sangat tua.  Jadi nama itu sudah beredar selama berabad-abad, tetapi memasuki abad kedua Era Bersama di dunia Romawi kultus Mithras menjadi sebuah ekspresi baru bagi religiositas Timur dan spiritualitas Timur yang mulai menemukan popularitas besar di kalangan orang-orang Yunani dan khususnya orang-orang Romawi.

Kadang-kadang diperkirakan bahwa Mithraisme sangat populer di kalangan militer, tetapi kita juga tahu bahwa dia juga populer di kalangan para magistrat sipil di kota-kota tertentu. Kepercayaan itu tidak sekedar berjalan kesana-kemari mengikuti legiun-legiun. Nah, Mithraisme adalah kasus yang sangat menarik karena Mithras adalah dewa matahari. Dia diasosiasikan dengan matahari yang maha perkasa dan tak terkalahkan itu, dan sungguh, jika anda memikirkan hal itu, Yesus juga sering dihubungkan dengan sesuatu identitas dewa matahari. Bagaimanapun juga, ia dirayakan pada hari matahari—Sunday. Yesus bangkit dari mati, persis seperti matahari yang muncul di Timur, jadi imajeri matahari yang kita dengar dalam hubungan dengan Mithraisme itu adalah sesuatu yang sangat comparable dengan aspek-aspek tertentu Kristianitas purba.

Selain itu, Mithraisme juga mempraktekkan ritual-ritual inisiasi. Ibaratnya, anda harus dilahirkan dalam kultus itu, dengan menjalani sebuah ritual yang membuat anda menjadi seorang anggota. Mereka rupanya menyelenggarakan jamuan-jamuan komunal dalam kapel-kapel privat mereka yang kecil itu, jadi orang yang sedang berjalan di depan kapel itu mungkin sulit untuk mengetahui apa yang dilakukan di dalam sana, sulit untuk membedakan bangunan kecil di sini adalah tempat orang-orang Mithras berkumpul dan bangunan kecil di sana tempat orang-orang Kristen berkumpul. Mereka banyak menyimpan rahasia. Mereka kecil-kecil. Mereka melakukan hal-hal yang tidak biasa dan orang-orang pada berbisik-bisik tentang mereka, khawatir mengenai apa yang mereka lakukan.

PERJAMUAN KULTIS

Dalam beberapa hal yang menarik, orang-orang Kristen betul-betul klop dalam panorama besar kehidupan sosial dan religius dunia Romawi itu. Nah, kita harus ingat bahwa salah satu ciri terpenting dari praktek Kristen adalah perjamuan komunal, perjamuan Tuhan. Di jaman Paulus, kita harus ingat bahwa orang-orang Kristen secara aktual berkumpul untuk beribadah di seputar meja makan dan ikut ambil bagian  dalam sebuah perjamuan komunal untuk memperingati kematian dan kebangkitan kembali Yesus. Tetapi perjamuan komunal itu juga merupakan satu aspek ritual penting yang mempererat kesatuan anggota-anggota komunitas itu. Perjamuannya sendiri adalah hal yang sangat umum sebagai suatu ritual keagamaan di antara anggota-anggota dunia Romawi.  Pesta-pesta jamuan makan diselenggarakan sepanjang waktu. Pesta-pesta jamuan privat maupun perayaan-perayaan publik, tetapi salah satu aspek yang paling menarik dari perjamuan yang kita temukan itu  adalah apa yang bisa kita sebut perjamuan religius atau perjamuan kultis, atau pesta-pesta klub. Dalam pesta-pesta klub itu hampir selalu ada dewa pelindung yang bisa diharapkan akan mengayomi event  itu.

Kultus Mithras terkenal karena praktek-praktek perjamuannya, tetapi salah satu bentuk perjamuan kultis yang paling menarik yang kita dengar adalah yang ditemukan dalam kultus-kultus Mesir. Kultus Serapis, dewa dari Mesir itu, pasangan Isis. Kita mempunyai undangan-undangan papirus dari dunia Romawi yang menyatakan dewa Serapis mengundang anda untuk menghadiri perjamuan makan di kursi panjangnya. Maksudnya di meja makannya. Di meja makannya pada jam 8 Selasa malam. . . . . Jadi itu begitu menarik karena orang-orang Kristen melakukan hal-hal yang sangat mirip dengan praktek-praktek religius itu, dan kadang-kadang mereka harus bekerja sangat keras untuk menunjukkan diri bahwa mereka beda dari orang-orang kafir itu.

Penulis Kristen Tertullian dari Afrika Utara sekitar tahun 197 bekerja ekstra keras untuk menunjukkan perbedaan itu. Dia mengatakan, “Kami orang-orang Kristen menyelenggarakan jamuan-jamuan, memang, tetapi sebenarnya kami tidak melakukan hal-hal yang tidak lumrah. Kenyataannya, kegiatan kami biasa-biasa saja. Itu nggak seperti orang-orang yang ngikutin dewa Serapis itu. Kenapa? Jika mereka bikin pesta, mereka bahkan sampai manggil barisan pemadam kebakaran segala. Kami nggak seperti itu.” Tetapi hal yang hendak ia tunjukkan malah menunjukkan pada kita bahwa justru itulah yang tampak di mata banyak orang.

ASCLEPIUS, DEWA PENYEMBUH

Ketika orang-orang Kristen bicara tentang “salvation,” kita harus mengerti bagaimana seorang kafir akan menginterpretasikan hal itu. Sebenarnya “salvation” berarti penyembuhan. Kata itu medis, dan kata itu rupanya dipahami sebagai berarti pembebasan dari penyakit dan kematian. Penyembuhan, magic, perawatan-perawatan medis adalah bagian dari tradisi Yesus yang sudah berjalan sejak . . . . sumber-sumber injil perdana, dan itu sampai sekarang tetap menjadi bagian sangat penting dari tradisi Kristen. Salah satu dari gambaran-gambaran paling menonjol dalam semua katakomba adalah Yesus sebagai penyembuh. Yesus sebagai dukun. Ini sebenarnya hal yang teramat penting dalam kebudayaan Romawi, dan jelas kesehatan serta penyakit adalah isu-isu yang sangat penting di mana saja. Seringkali diperkirakan bahwa tingkat mortalitas di antara warga kota-kota Romawi sangat tinggi, bisa mencapai 50 persen dari semua anak yang lahir akhirnya mati dalam usia sampai lima tahun. Jadi kematian dan penyakit ada di mana-mana . . . . . . . .

Salah satu dari dewa-dewa paling populer adalah Asclepius, dewa penyembuh, dan sering disugestikan bahwa Yesus—katakan saja—ditampilkan sebagai seorang Asclepius yang baru atau yang lebih muda.  Asclepius sering digambarkan dengan cara-cara yang sama dengan Zeus, sebagai dewa besar, tua, yang juga mempunyai isteri atau gundik. Namanya Hygeia. Namanya berarti kesehatan dalam bahasa Yunani, jadi pemujaan Asclepius si penyembuh dan pemujaan kesehatan yang dipersonifikasikan oleh isterinya adalah kultus-kultus yang paling menonjol. Sungguh, kalau sekarang kita punya rumah sakit, masyarakat jaman kuno punya kuil Asclepius, dan ada di sejumlah tempat di dunia Yunani dan Romawi. . . . . Kultus Asclepius, persis seperti Kristianitas dan beberapa agama baru yang lain di dunia Greko-Romawi, adalah kultus yang portabel. Anda bisa mendirikan kuil Asclepius di mana saja, di manapun  anda bersedia menyuruh satu kuil dibangun dan anda membiayai pembangunannya.

Lebih lanjut mengenai agama-agama di Kekaisaran Roma, bacalah esei karya Marianne Bonz.

Judul asli: “The Empire’s Religions”

Sumber: http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline.

Terjemahan: Bern Hidayat, 10 Desember 2009

Pengaruh bahasa, filsafat, dan kebudayaan Hellenistik pada orang-orang Yahudi dan Kristen purba.

Harold W. Attridge:

The Lillian Claus Professor of New Testament,  Yale Divinity School

DIALOG YAHUDI DENGAN KEBUDAYAAN HELLENISTIK

Dapatkah anda memberikan definisi umum mengenai apa yang dimaksudkan dengan istilah dunia Hellenistik itu?

Dunia Hellenistik adalah dunia yang diciptakan setelah penaklukan Alexander Agung pada akhir abad ke-4 SM. Dan wilayah taklukannya, yang membentang dari India sampai ke Mesir, dibagi-bagi menjadi tiga wilayah utama dalam waktu 20 tahun setelah kematiannya. Dan kedua wilayah utama yang bertahan hidup sampai abad pertama SM adalah kerajaan Siria, kerajaan Seleucid, dan kerajaan Ptolemaic yang bertahan hidup di Mesir, yang akhirnya diambil alih oleh Romawi pada tahun 31 SM.

Dan bagaimana bahasa serta kebudayaan dunia Hellenistik itu?

Bahasa dan kebudayaan Hellenistik adalah Yunani. Itu menjadi lingua franca dari semua bangsa bawahannya. Dalam banyak hal, bahasa Yunani sama saja dengan bahasa Inggris bagi dunia modern sekarang ini, persis seperti bahasa Perancis bagi dunia abad ke-19.

Seberapa jauh kebudayaan religius Yahudi mengalami Hellenisasi di masa itu?

Kebudayaan dan peradaban Yahudi selama periode Hellenistik berada dalam dialog yang intens dengan kebudayaan dan peradaban Hellenistik, yang dimulai dengan penerjemahan kitab-kitab Hibrani kedalam bahasa Yunani, sebuah terjemahan yang bertahan hidup sampai kini dan yang kita kenal sebagai Septuagint. Itu jelas merupakan salah satu cara dengan mana bentuk-bentuk sastra Yunani dan bahasa Yunani berdampak pada tradisi-tradisi sastra dan peradaban Yahudi. Dampaknya tidak hanya berhenti di kitab suci, dan kita lihat selama periode Hellenistik orang-orang Yahudi mengadopsi bentuk-bentuk sastra dari tradisi Yunani, dan menulis drama-drama, syair-syair epik, syair-syair lirik, semuanya dalam bahasa Yunani. Sebagian besar dari aktivitas itu terpusat di Alexandria, ibukota Mesir, tetapi ada aktivitas serupa yang berlangsung di Palestina, dan beberapa dari produk-produk sastra yang bertahan sampai sekarang, yang  dalam beberapa hal hanya berupa fragmen-fragmen, barangkali ditulis di Palestina, oleh orang-orang Yahudi yang mengadopsi mode-mode sastra Yunani.

PHILO

Siapakah Philo itu dan apa yang ia lakukan?

Philo adalah sebuah contoh tentang Hellenisasi yang intens terhadap Yudaisme. Ia seorang filsuf dan interpreter kitab yang hidup di Alexandria dari sekitar 30 SM sampai 40 M. Ia berusaha menciptakan sebuah sintesis antara kitab suci dengan filsafat Platonik. Misalnya, dalam mengatakan bahwa sabda Tuhan yang kita temukan dalam kitab adalah logos atau pikiran ilahi, dengan mana yang ia maksudkan adalah kombinasi dari ide-ide, ide-ide Plato, yang pada waktu itu oleh para filsuf dipandang sebagai berada dalam pikiran Tuhan. Dan juga pada saat yang sama rasionalitas immanen daripada dunia ini, dengan mengambil alih sebuah gagasan Stoik bahwa nalar merupakan cara kerja batin dunia.

Bagaimana semua itu mungkin mempengaruhi Yesus?

Hal-hal seperti filsafat Plato dan filsafat Stoik pada tingkatan yang dilakukan oleh orang seperti Philo barangkali tidak akan memberikan impak langsung pada Yesus. Tetapi kedua aliran tradisi Hellenistik itu sebagaimana digarap oleh para filsuf seperti Philo memberikan sesuatu impak pada orang-orang Kristen generasi kemudian yang berusaha menalarkan Yesus dan ajarannya dalam kerangka kebudayaan Greko-Romawi yang lebih luas.

Dan bagaimana dunia Hellenistik itu mungkin telah mempengaruhi Yesus?

Rupanya Yesus dibesarkan di Galilei, yang pada waktu itu di bawah Herodes Antipas tengah mengalami sesuatu bentuk Hellenisasi. Ada kelanjutan program Herodes Agung, bapak Herodes Antipas. Dan Hellenisasi itu paling menonjol di tempat seperti Sepphoris, yang tengah direkonstruksi selama masa muda Yesus. Itu tampak di beberapa kota di seputar Galilei. Tempat seperti Beth-Shean, misalnya, yang sampai sekarang masih memiliki sebuah teater megah yang berasal dari masa Hellenistik. Kita mempunyai bukti yang jelas dalam semua peninggalan arsitektural itu bahwa Hellenisme memberikan impak yang kuat bahkan pada Galilei selama masa itu.

KRISTIANITAS DAN FILSAFAT YUNANI

Apa inti perdebatan antara Krstianitas dengan filsafat Yunani?

Kristianitas purba menggandeng kebudayaan Hellenistik secara umum, dan secara lebih spesifik filsafat Yunani, dari akhir abad pertama. Kita lihat potongan-potongan dari hal ini dalam bagian-bagian seperti pembukaan Injil Ke-4 di mana konsep logos ditampilkan. Pada abad kedua dan seterusnya penggandengan itu berlanjut atas beberapa masalah. Beberapa dari mereka berkaitan dengan masalah-masalah filosofis seperti hakekat realita dan hakekat Tuhan. Beberapa dari mereka berkaitan dengan masalah-masalah etika dan moralitas. Ini adalah dua kutub di seputar mana dialog itu berkembang selama abad-abad berikutnya.

JUSTIN MARTYR

Menjelang pertengahan abad kita lihat orang seperti Justin Martyr, misalnya, salah satu dari para apologis Kristen pertama, maksudnya, salah satu dari orang-orang yang berusaha menjelaskan Kristianitas pada dunia Greko-Romawi dan melakukan hal itu dalam konteks dan dengan menggunakan kategori-kategori pemikiran Greko-Romawi. Kita lihat bahwa Justin Martyr ini aktif di Roma sekitar pertengahan abad pertama, berusaha menjelaskan hakekat Kristus dan hakekat hubungannya dengan Tuhan dari sudut pandang teori-teori filsafat tertentu, teori filsafat yang pada dasarnya berasal dari stoikisme yang menyatakan adanya suatu dikotomi antara ujaran yang sifatnya eksternal dengan pikiran yang sifatnya internal . . . .

Justin mempunyai teologi tentang sabda Tuhan yang bergulat dengan masalah status macam apa yang Yesus miliki sebagai perantara antara Tuhan dengan umat manusia. Dan dalam lingkungan filosofis abad kedua dan ketiga semakin menyebar luaslah gagasan bahwa Tuhan adalah suatu makluk yang sangat transenden, maksudnya, suatu makluk atau zat yang sangat jauh dari manusia. Dan karena itu mengatakan bahwa Yesus dengan sesuatu cara merupakan pengejawantahan Tuhan akan menghadirkan sebuah teka-teki filosofis, sebab adalah tidak mungkin untuk membayangkan yang transenden sebagai immanen, sebagai mengejawantah dalam tubuh manusia, sebagaimana dinyatakan oleh orang-orang Kristen.

Apakah monotheisme merupakan masalah besar dalam perdebatan Justin maupun dengan audiensnya yang non-Kristen?

Justin dan para apologis Kristen jelas berargumen bahwa tradisi kepercayaan dan praktek politeistik yang marak di dunia Greko-Romawi itu keliru, immoral, dan secara filosofis lemah. Sejauh mereka menyodorkan poin terakhir tadi—bahwa politeisme itu secara filosofis lemah—mereka praktis mengatakan hal-hal yang mirip dengan yang dikatakan oleh para filsuf Yunani sendiri. Sebab di antara para filsuf Yunani ada apresiasi yang semakin berkembang pada kesatuan dari sang ilahi dan pada gagasan bahwa mungkin sekali ada sesuatu prinsip ilahi sederhana dan tunggal yang mendasari segala sesuatu. Tetapi tidak seorang pun filsuf Yunani abad kedua atau ketiga akan berpikiran bahwa prinsip ilahi itu itu entah dengan sesuatu cara akan mewujud menjadi tubuh manusia.

L. Michael White:

Professor of Classics and Director of the Religious Studies Program,  University of Texas at Austin

PENGARUH HELLENISTIK

Apa yang anda maksudkan ketika anda mengatakan Hellenistik?

Hellenisasi, atau Hellenisme, mengacu pada penyebaran kebudayaan Yunani yang dimulai setelah penaklukan Alexander Agung di abad keempat SM. Orang harus mengingat pembangunan kawasan Laut Tengah bagian timur dalam dua fase utama. Yang pertama, penaklukan oleh Alexander, yang membawa kebudayaan Yunani ke wilayah-wilayah Timur Tengah. Dan kemudian, setelah itu, ekspansi kekaisaran Romawi, yang akan mengambil alih secara politis. Tetapi Roma tidak langsung mengubah segala sesuatu menjadi suatu kebudayaan Latin-Roman. Yang lebih tepat lagi, orang-orang Romawi bekerja dengan idiom Yunani. Dan karena itu, sebagian besar dari apa yang kita lihat dalam kebudayaan kota-kota itu, misalnya Caesarea Maritima, adalah sebuah struktur kota Yunani dengan organisasi politis Romawi, di mana elemen-elemen kehidupan kota Romawi dan Yunani yang berbeda-beda itu pada saling mengisi.

Bagaimana hal itu mempengaruhi kehidupan Yahudi?

Bagi banyak orang Yahudi, rupanya itu bukan masalah sama sekali. Ada kenyamanan lumayan besar atau akulturasi tingkat tinggi dengan banyak aspek pemikiran dan kehidupan Yunani. Persis sebagaimana kita lihat dalam komunitas-komunitas utama Yahudi di Mesir pada masa yang sama, dan yang sudah ada di sana selama 200 tahun sebelumnya. Jadi bagi sementara orang itu artinya tidak lebih dari seperti apa hidup di sebuah kota modern dengan kebudayaan yang sangat campur aduk. Tetapi bagi sebagian orang lain, untuk orang-orang lain dalam tradisi Yahudi, akan menjadi masalah besar jika Herodes, yang mustinya menjadi seorang raja Yahudi, kok malah dengan sigap beralih sikap dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan keagamaan Romawi serta ideologi Romawi.

Judul asli: “Hellenistic Culture”

Sumber: http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline

Alih bahasa: Bern Hidayat,  20 September 2009

Diaspora Yahudi

27/01/2010

Komunitas-komunitas Yahudi, yang tersebar di seluruh penjuru Kekaisaran Romawi, menjadi wahana untuk mewartakan “kabar gembira” Yesus Kristus.

L. Michael White:

Professor of Classics and Director of the Religious Studies Program University of Texas at Austin

Diaspora

Ketika kita melihat orang-orang Kristen mulai menyebar keluar dari lingkungan negeri asli mereka sendiri, mereka mengikuti  jalur yang telah banyak dilalui orang Yahudi yang lain sebelum mereka. Memasuki pertengahan abad pertama, barangkali ada lebih banyak orang Yahudi di luar negeri asal ketimbang yang tinggal di Yudah itu sendiri. Itu adalah apa yang kita sebut Diaspora—tersebarnya populasi Yahudi di seluruh penjuru Kekaisaran Romawi—dan kita tahu bahwa ada komunitas-komunitas Yahudi besar di sebagian besar kota-kota besar di Kekaisaran, dari Teluk Persia di timur sampai Spanyol di barat. Itu adalah penyebaran populasi Yahudi paling luas sepanjang masa Romawi.

Jadi, ada hubungan yang seperti apa antara orang-orang Yahudi dengan komunitas-komunitas dalam mana mereka berada?

Dan komunitas-komunitas Yahudi di lingkungan Diaspora itu menghadapi sejumlah tantangan. Bagaimana anda memelihara identitas dan kesalehan tradisional Yahudi anda, dan pada saat yang sama menempatkan diri dalam tradisi-tradisi sosial dan kultural kota-kota Yunani dan Romawi? Di beberapa lokal, kita mendapatkan orang-orang Yahudi yang berpartisipasi di theater atau dalam aspek-aspek kehidupan sehari-hari yang normal. Di kota-kota lain, kita mendapatkan orang-orang Yahudi yang mengalami penindasan, dan terkesan membuat jarak dengan lingkungan lokal. Jadi, bervariasi dari kota yang satu ke kota lainnya—situasi hidup orang-orang Yahudi itu. tetapi secara keseluruhan, Yudaisme di Diaspora bisa mengakomodasi sejumlah besar kebudayaan Hellenistik. Bahasa normal bagi orang-orang Yahudi di Diaspora adalah Yunani. Di Diaspora lah Alkitab diterjemahkan dari bahasa Hibrani ke bahasa Yunani vernakuler. Jadi, belakangan, ketika kita mendapatkan Paulus mengutip alkitab, ia tidak mengutip Alkitab Hibrani. Dia mungkin malah tidak mengenal Alkitab Hibrani itu secara langsung. Ia mengutip kitab yang dalam bahasa Yunani.

POPULASI YAHUDI DI ROMA DAN OSTIA

Ada komunitas-komunitas Yahudi sangat besar di beberapa kota besar Romawi. Roma sendiri mempunyai sekitar 10 jemaat sinagoga yang berlainan, dan populasi Yahudi di Roma pada waktu puncaknya diperkirakan mencapai 100.000. Sayangnya kita tidak mempunyai  bukti arkeologis mengenai bangunan-bangunan sinagoga aktualnya di kota Roma, tetapi untung sebuah penemuan arkeologis belum lama ini dari kota bandar Ostia menunjukkan pada kita kongregasi yang seperti itu, dalam settingnya yang sangat nyata.

Jika anda berjalan-jalan menyusuri kota Ostia, anda menyaksikan sebuah mikrokosmos kota Roma sendiri, di abad pertama. Itu adalah sebuah Roma kecil, dan ketika anda anda menyusuri jalan-jalan utama di tengah kota Ostia, dan anda keluar dari gerbang dekat pelabuhan, terus menyusuri jalan, anda menemukan sebuah bangunan kecil tak jauh dari pinggir jalan, dan ketika anda masuk, anda menemukan sebuah bangsal pertemuan. Dari luar bangunan itu tampak sama saja dengan bangunan lain sepanjang jalan itu. Anda tidak akan bisa mengenalinya. . . . sebuah tempat pemujaan bagi komunitas Yahudi. . . . sebelum anda memasuki bagian dalamnya sendiri dan melihat ukiran-ukiran di atas lengkung-lengkung yang menunjukkan sebuah menorah pada kita. Itu sinagoga Yahudi. Mungkin berasal dari akhir abad pertama dan merupakan salah satu dari yang tertua di Diaspora, sejauh yang kita ketahui.

Jadi, di sini ada jemaat Yahudi yang selama beberapa generasi berusaha memelihara kehidupannya, identitasnya, di sebuah kota besar Romawi. Adalah menarik bahwa. . . . persis bersebelahan dengan bangsal pertemuan, ada sebuah dapur dan sebuah ruang makan. Rupanya mereka juga menyelenggarakan jamuan persaudaraan. Rupanya mereka juga terlibat dalam sesuatu kehidupan sosial yang aktif.

KATAKOMBA YAHUDI DI ROMA

Salah satu dari sumber-sumber informasi terbaik kita mengenai komunitas Yahudi di Roma itu datang dari tempat-tempat penguburan. Ada beberapa katakomba Yahudi yang penting, dan mereka memberikan ratusan prasasti yang bercerita banyak tentang nama-nama dan identitas dan jumlah jemaat Yahudi di Roma. Mereka campur aduk. Beberapa dari mereka didominasi oleh orang-orang yang berbahasa Aramaik, dan tidak banyak menggunakan bahasa Yunani, tetapi mayoritasnya menggunakan bahasa Yunani dan segelintir orang bahkan tahu bahasa Latin. Yang ditunjukkan pada kita adalah betapa terintegrasinya komunitas-komunitas Yahudi itu dalam kehidupan sosial Roma.

Mereka berpartisipasi dalam semua aspek perdagangan. Mereka sibuk mengorganisir kehidupan komunitas mereka. Kita mendengar tentang orang-orang yang menjadi ibu atau bapa sinagoga, yang berarti mereka adalah orang yang dahulu membangun bangunannya dan menopang jemaatnya. Kita mendengar tentang kepemimpinan kelompok-kelompok Yahudi. Jadi, kita menemukan komunitas-komunitas Yahudi ini benar-benar berusaha memelihara identitas mereka, persis sebagaimana sembarang kelompok imigran berharap akan lakukan di lokal mereka yang baru.

Shaye I.D. Cohen:

Samuel Ungerleider Professor of Judaic Studies and Professor of Religious Studies Brown University

Kata Yunani “diaspora” berarti sebaran.  Dan memang, ada penyebaran orang-orang Yahudi ke seluruh penjuru dunia Yunani dan Romawi dari abad ketiga SEB dan seterusnya. Ada sebuah pernyataan terkenal oleh Strabo, seorng geografer Yunani akhir abad pertama SEB, yang mengatakan bahwa anda tidak bisa pergi ke mana saja di dunia ebradab ini tanpa berttemu dengan orang Yahudi. Dan di jamannya hal itu jelas betul. Ada komunitas-komunitas Yahudi besar di Mesir, khususnya di Alexandria, tetapi bahkan di pedalaman, di hulu Lembah Nil. Ada komunitas-komunitas Yahudi besar di Syria, komunitas yang sangat besar di kota Antioch, tetapi di seluruh penjuru Syria,  dan ada banyak komunitas Yahudi di seluruh penjuru Asia Minor, yang sekarang bernama Turki. Juga ada komunitas-komunitas Yahudi di Yunani dan di seantero semenanjung Italia, khususnya, tentu saja, di kota Roma. Bahkan lebih jauh ke barat, kita tahu tentang orang-orang Yahudi di Perancis selatan, dan orang-orang Yahudi di Marseilles dan mungkin orang-orang Yahudi di Spanyol. . . . . .

Menarik untuk dicatat bahwa Kristianitas purba pertama menyebar di daerah-daerah di mana ada orang Yahudi. Dia menyebar di Mesir, dia menyebar di Syuria, dia menyebar di Asia Minor, ia menyebar di Yunani dan Italia. Itu adalah daerah-daerah di mana kita tahu ada komunitas-komunitas Yahudi, ada sinagoga-sinagoga Yahudi, dan ada banyak orang Yahudi yang tersebar di seluruh penjuru daerah-daerah itu. barangkali para pengelana dan misionaris Kristen paling awal seperti Paulus memulai perjalanan mereka dengan terlebih dulu mendekati sesama mereka, orang yang sama-sama Yahudi, dan mempertobatkan beberapa dari mereka ke jalan baru atau agama baru itu, jika saya boleh menggunakan istilah itu, atau cara berpikir baru itu, mungkin dengan menggunakan komunitas-komunitas itu sebagai batu loncatan dari mana mereka mendapatkan akses ke orang-orang non-Yahudi di daerah itu pula. Dengan demikian jelaslah bahwa komunitas-komunitas Diaspora membentuk jaringan Yahudi yang oleh orang-orang Kristen purba sebagai orang-orang Yahudi bisa manfaatkan untuk tujuan-tujuan mereka sendiri.

SINAGOGA DI DIASPORA YAHUDI

“Sinagogue” dalam bahasa Yunani berarti perkumpulan, persekutuan, atau mungkin jemaat. Dengan demikian sinagoga adalah titik organisasi komunal orang-orang Yahudi di Diaspora. Di manapun anda mempunyai orang-orang Yahudi dalam jumlah yang memadai, anda akan mempunyai komunitas Yahudi. Tiap kali anda mempunyai komunitas Yahudi, anda lalu ingin mempunyai sinagoga Yahudi. Dengan demikian sinagoga, antara lain, adalah bangunan komunitas, atau tempat komunitas, tempat di mana orang-orang Yahudi berkumpul untuk mendiskusikan masalah-masalah bersama. Mirip New England town square, di mana warga berkumpul secara teratur untuk mendiskusikan masalah-masalah penting. Di antara masalah-masalah yang mereka diskusikan, tentu saja, orang-orang Yahudi mendiskusikan Yudaisme. Maksudnya, mereka mendiskusikan kitab-kitab suci mereka. Banyak dari sumber-sumber kami bercerita bahwa orang-orang Yahudi berkumpul di sinagoga secara teratur, mungkin setiap Sabtu, atau Sabbath, atau mungkin lebih sering dari itu, untuk membaca hukum Torah, kitab suci Musa, dan menerangkannya. Dan setiap pembaca Perjanjian Baru tahu bahwa ini adalah apa yang Yesus lakukan di daerah kelahirannya, di Galilei, masuk ke sinagoga-sinagoga pada hari Sabbath dan menerangkan alkitab. Dan tentu saja, kita juga mengetahui hal ini dari Paulus, bahwa dalam lawatan-lawatannya di Asia Minor, Paulus secara rutin pergi mencari sinagoga lokal dan di sana mengajarkan alkitab dari perspektifnya sendiri yang aneh, tetapi mengajarkan alkitab pada komunitas Yahudi. Jadi sesuatu yang lain terjadi di sana, di sinagoga, dalam perkumpulan-perkumpulan umum itu, yang akan menjadi pengkajian komunal terhadap teks-teks alkitab, khususnya Torah. Kita bayangkan juga bahwa barangkali mereka berdoa, bersama-sama. . . . . .

Menurut Perjanjian Baru, ciri menonjol lain dari sinagoga-sinagoga di Diaspora adalah bahwa mereka memikat banyak kerumunan pendengar, dan banyak dari orang-orang ini non-Yahudi. Rupanya bagi orang-orang non-Yahudi sinagoga-sinagoga itu tempat yang menarik atau berharga untuk dikunjungi, mungkin karena mereka senang mendengarkan diskusi-diskusi filosofis tentang Tuhan, atau mungkin menyukai nyanyian-nyiannya. Kita tidak tahu persis mengapa mereka tertarik; para peneliti modern terlalu cepat berasumsi bahwa mereka penganut Yudaisme, atau setengah Yudais. . . . . . seolah-olah tidak ada penjelasan rasional lain mengapa orang-orang non-Yahudi ingin pergi ke sinagoga jika mereka bukan sudah menganut Yudaisme. Tetapi faktanya: ada banyak alasan mengapa orang-orang non-Yahudi itu datang . . . . . mungkin orang-orang non-Yahudi mendapatkan bahwa sinagoga-sinagoga Yahudi, orang-orang Yahudi sendiri, ternyata cukup terbuka, menarik, atraktif, ramah, dan—mengapa tidak pergi ke sinagoga Yahudi, khususnya karena tidak akan ada analog-analog non-Yahudi. Pengalaman komunal itu tidak ada padanannya dalam agama-agama kafir atau Yunani atau Romawi. Dan kita tidak usah heran jika hal itu memikat orang-orang lewat yang pengin tahu, yang berniat baik, yang mungkin masuk untuk menyaksikan, atau mungkin bahkan berpartisiasi dalam apa yang sedang dilakukan.

Paula Fredriksen:

William Goodwin Aurelio Professor of the Appreciation of Scripture, Boston University

IDENTITAS YAHUDI DAN DIASPORA

Orang Yahudi membangun realita lewat Kitab. Dan pusat gravitasi Kitab Yahudi, yang menggerakkan kisahnya, adalah pergi ke tanah Israel. Jadi tanah Israel, tanah yang dijanjikan pada Abraham, arti penting tanah, kekudusan yang melekat pada tanah, itu semua terkandung dalam imajinasi historis Yahudi lewat Kitab Suci sebagai mediumnya. Ini berarti bahwa secara religius dan sosial, setiap tempat di luar tanah tadi, bukanlah rumah bagi seorang Yahudi, sekalipun orang-orang  Yahudi bisa hidup dari generasi ke generasi di kota-kota lain. Tanah yang dijanjikan pada bangsa Yahudi. . . . . itulah fokus pikiran orang-orang yang berada di luar Israel, di Diaspora. Dan memasuki abad pertama, ada lebih banyak orang Yahudi yang tinggal di luar negeri Israel ketimbang yang tinggal di dalam negeri Israel itu sendiri—sama seperti sekarang. Ada populasi Yahudi yang sangat enerjetik di Babylon sejak kehancuran Bait Allah pertama. Ada populasi Yahudi yang sangat bersemangat dan kaya di kota-kota besar di seputar laut Tengah. Dan populasi itu, yang berbahasa Yunani, menjadi latar belakang bagi penerjemahan Kitab Yahudi kedalam bahasa Yunani, yang akhirnya menjadi ladang pesemaian Kristianitas . . . . . untuk membuat gagasan tentang Israel tersedia bagi para pembaca Yunani . . . . .untuk membebaskannya dari bahasa aslinya—dari sudut pandang tertentu.

Meskipun begitu, terlepas dari cerai-berainya populasi Yahudi di seantero Kekaisaran Romawi dan di timur, orang-orang Yahudi dipersatukan secara imajinatif dan secara sosial oleh kalender. Orang-orang Yahudi mempunyai komunitas imajinatif yang trans-lokal ini. Mereka meliburkan diri setiap hari ketujuh . . . . . . mereka satu-satunya yang mempunyai budaya akhir pekan di jaman kuno. Mereka mempunyai Sabbath, yang tipikalnya adalah waktu bagi komunitas untuk berkumpul, entah mereka di desa di Galilei, atau di pinggiran kota Roma, dan mendengar hukum Torah dibacakan. . . . . . mereka mempunyai hari-hari raya pejiarahan. Mereka mempunyai kalender tahun liturgis Yahudi. Dan karena itu, populasi-populasi Yahudi di Diaspora juga akan melakukan perjalanan pulang ke rumah bahkan sekalipun rumah aktual mereka adalah Alexandria atau Roma atau tempat manapun di Asia Minor. Rumah spiritual dan rumah historis mereka adalah Israel, dan khususnya, Yerusalem.

Judul asli: “The Jewish Diaspora”

Sumber: http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline.

Terjemahaan: Bern Hidayat, 10 Desember 2009

Di Katakomba

27/01/2010

Jauh di bawah jalanan Roma ada katakomba-katakomba kuno di mana orang-orang Kristen purba menguburkan anggota keluarga mereka yang mati dan memelihara harapan akan kehidupan kekal.

L. Michael White:

Professor of Classics and Director of the Religious Studies Program University of Texas at Austin

KATAKOMBA-KATAKOMBA KRISTEN DI ROMA

Masa sekitar penganiayaan Decius, pertengahan abad ke-3, adalah juga masa ketika katakomba-katakomba Roma mulai berkembang. Nah, menurut tradisi, anda tahu, katakomba-katakomba dikira adalah tempat di mana para martir dimakamkan. Tetapi kuburan katakomba itu begitu banyak, lebih dari enam setengah juta—itu perkiraan biasanya—yang berasal dari pertengahan abad ketiga sampai abad keenam atau ketujuh. Jadi jelas tidak semua kuburan di sana kuburan martir. Kalau begitu, apa? Kita mendapatkan katakomba-katakomba kafir, katakomba-katakomba Yahudi, dan katakomba-katakomba Kristen.

Tetapi salah satu hal yang kita lihat di pertengahan abad ketiga adalah kelompok-kelompok pemakaman Kristen yang jumlahnya semakin meningkat dan yang dikelola oleh gereja. Kita bahkan mendengar tentang kelompok-kelompok para penggali kubur, orang-orang yang menggali tempat-tempat  pemakaman katakomba, dan katakomba-katakomba Kristen termasuk di antara institusi pemakaman terpenting di Roma. Mereka memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia dengan berbagai cara, dan jika anda turun dan masuk ke katakomba-katakomba itu dan melihat itu seperti apa—maksud saya, anda harus membayangkan itu dahulu seperti apa. Pertama, katakomba adalah fenomena yang aneh di daerah sekitar Roma. Katakomba selalu berada di luar kota, sebagaimana semua tempat pemakaman sebaiknya berada di luar kota. Tetapi formasi geologis di daerah itu aneh dan unik. Ini adalah batuan vulkanik yang sangat lunak, dan selama lapisan vulkanik itu tertutup tanah, dia tetap lunak. Tetapi setelah anda menggalinya dan lapisan batuan itu terkena udara, ia jadi mengeras dan dengan demikian menjadi jauh lebih stabil sehingga orang mudah menggali ke dalam.

Jadi katakomba itu seperti koloni-koloni semut, yang masuk semakin jauh ke dalam ke batuan yang lunak itu, dan ketika anda masuk, anda bisa melihat dinding-dindingnya, melihat bagaimana mereka menggali loculi pemakaman, atau kamar, di mana mereka menyorongkan jasad almarhum. Yang itu adalah pemakaman murahan. Dan dalam beberapa kasus, kita tidak bisa tahu itu kafir atau Yahudi atau Kristen. Semakin njlimet kuburannya, ruangannya juga semakin besar, mirip kamar-kamar yang dikeruk dalam batuan, mirip kamar-kamar atau rumah-rumah kecil, dan kita lihat beberapa lukisan yang renik-pernik, dan ruangan-ruangannya bisa sepenuhnya dihias dengan frescoes , dengan kamar-kamar makam di dalamnya.

Selain itu, dalam banyak kasus di sinilah kita lihat beberapa dari seni-seni pemakaman yang paling Kristen mulai berkembang; adegan-adegan keluarga Yesus secara lengkap atau imaji-imaji dari kisah-kisah injil atau kisah-kisah dari Kitab Hibrani atau simbol orans dan gembala yang baik. Semua itu mencerminkan tradisi ikonografis Kristen yang tengah berkembang pesat persis pada saat mereka menembus masuk ke mainstream masyarakat Romawi. Sungguh, seni Kristen yang tengah marak itu, ketika bisa dilihat sebagai khas Kristen betul, adalah pertanda bahwa mereka sudah bisa masuk kedalam masyarakat luas. . . . . .

Katakomba-katakomba itu mendapatkan tempat yang sangat menarik dalam tradisi romantik mengenai bagaimana Kristianitas purba berkembang. Sering ada anggapan bahwa itu adalah tempat persembunyian yang aduhai, dan orang-orang Kristen akan turun ke katakomba-katakomba untuk beribadah selama masa-masa penganiayaan. Tetapi sebenarnya penganiayaan yang bersifat reguler itu tidak terjadi, dan bahkan ketika kita menemukan ruangan-ruangan atau kamar-kamar yang lebih besar dalam katakomba-katakomba itu, mereka tidak digunakan untuk beribadah.  Jemaat tidak turun ke sana untuk merayakan Ekaristi dan berkumpul secara teratur. Lalu, ruangan-ruangan itu untuk apa? Mengapa mereka mempunyai bangku-bangku yang mengelilingi dinding-dinding? Apa itu tampak seperti tempat di mana anda bisa berkumpul dan merayakan Ekaristi? Jawabannya, mereka menyelenggarakan perjamuan makan untuk si almarhum. Kenyataannya, kita tahu dari sejumlah sumber, baik Kristen maupun non-Kristen, bahwa perjamuan makan pemakaman, semacam makan-makan bersama si almarhum, adalah sesuatu yang dilakukan oleh kebanyakan keluarga di Roma. Jadi kita harus membayangkannya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka, sebagai bagian dari aktivitas reguler mereka, orang-orang Kristen, persis sebagaimana tetangga-tetangga mereka yang kafir, turun ke katakomba untuk menyelenggarakan perjamuan kenangan dengan anggota-anggota keluarga yang telah meninggal.

John Dominic Crossan:

Professor Emeritus of Religious Studies DePaul University

KATAKOMBA-KATAKOMBA  KRISTEN  DI  ROMA

Kota Roma dikelilingi situs-situs pemakaman. Karena anda tidak boleh dikuburkan di dalam batas kota Roma, kecuali jika anda orang macam kaisar, jadi anda harus dikuburkan di pinggiran kota Roma, di sekelilingnya. Jadi  jika anda keluarga bangsawan, anda akan mempunyai makam di atas permukaan tanah, makam-makam seperti mausoleum. Jika anda dari kelas sedikit lebih rendah, anda akan dikuburkan di bawah permukaan tanah, karena materi di bawah permukaan tanah di luar Roma disebut tufa—itu sangat kuat, sangat kuat, itu mudah diukir dan itu sangat kuat. Anda bisa membuat dua, tiga, empat, dan bahkan lima lapisan di bawah tanah situs kuburan.

Itulah sebenarnya katakomba. Itu bukan tempat persembunyian; itu bukan tempat orang-orang Kristen menyembunyikan diri. Kuburan itu bersifat publik, di mana setiap orang dikubur sesuai dengan kelasnya. Jika mereka secara ekonomis mampu untuk tidak sekedar mengubur almarhum, mereka bisa memasang sebuah imaji di sana, misalnya sebuah lukisan—dan anda mulai mendapatkan adegan-adegan. Pertama, anda mendapatkan simbol-simbol seperti jangkar atau burung merpati—itu yang paling sederhana. Kemudian anda bisa mendapatkan adegan-adegan, misalnya filsuf  atau wanita dengan tangan terangkat dalam posisi sedang berdoa, simbol kesalehan; aneka macam adegan, atau anda bisa mendapatkan kisah-kisah injil.

Dan yang menarik adalah bahwa mereka memilih, karena apa yang mereka pilih tentang Yesus adalah Yesus sebagai penyembuh. Dia tampil tanpa jenggot, jadi dia dewa baru, dewa muda, ibaratnya . . . . . Dan itu luar biasa, karena dia menumpangkan tangan atau bahkan sebatang tongkat ajaib pada orang yang sedang dia sembuhkan. Nah, di seluruh penjuru dunia Yunani atau Romawi tidak ada Asclepius yang menunjukkan tangannya di atas orang yang sedang disembuhkan. . . . . . (Oh ya, Asclepius adalah dewa penyembuh  di dunia kuno, salah satu pesaing berat Yesus, ketika Kristianitas purba dimulai, karena Asclepius adalah dewa favorit.)

Yesus tampak seperti orang biasa, karena itu seorang dewa baru—itulah artinya tanpa jenggot—yang benar-benar mengulurkan tangan dan menyentuh orang-orang biasa. Dan banyak dari orang-orang yang Yesus sembuhkan itu adalah kelas bawah—itu  anda ketahui dari pakaiannya. Jadi ini dewa penyembuh baru, dan itulah yang ada dalam benak orang-orang itu.

Saya kira itu adalah salah satu hal penting yang membantu penyebaran Kristianitas. Yesus tidak ditunjukkan sebagai suatu makluk transendental; ia ditunjukkan sebagai sangat membumi dalam sejarah manusia, dengan tangannya di atas kepala dan bahu orang-orang. Dan mereka sama sekali tidak sungkan-sungkan mengetengahkan dia dengan sebatang tongkat ajaib di tangan di depan kuburan Lazarus, misalnya.

Judul asli: “In the Catacombs”

Sumber: http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline.

Terjemahan: Bern Hidayat, 10 Desember 2009