KRISTIANITAS SEBAGAI SEBUAH REVOLUSI KEBUDAYAAN

27/01/2010

Lecture 15

Mata kuliah: Ancient and Medieval History

Professor Steven Kreis

KRISTIANITAS SEBAGAI SEBUAH REVOLUSI KEBUDAYAAN

Ketika Kristianitas masuk ke Kekaisaran Romawi, ia melakukan salah satu revolusi kebudayaan yang mungkin paling signifikan dalam sejarah Barat. Secara umum, nilai-nilai Kristen bertentangan secara langsung dengan nilai-nilai pemikiran klasik, yaitu tradisi Greko-Roman. Tradisi itu mengajarkan bahwa manusia harus mencari kehidupan yang baik sekarang ini, di dunia ini, di dunia masa kini—dan bagi orang-orang Romawi, itu berarti Kekaisaran. Kristianitas mengajarkan bahwa eksistensi duniawi kita hanyalah sebuah persiapan untuk kehidupan sesudah mati. Kehidupan kita di atas bumi bersifat sementara, sebuah terminal sebelum perjalanan menuju kehidupan kekal. Dunia kasat mata adalah dunia pengasingan. Kita semua dipandang sebagai tawanan dalam Gua Plato.

Kristianitas mula-mula muncul sebagai sebuah agama misteri atau kultus misteri—salah satu dari sekian banyak yang sudah ada. Bagi banyak kultus misteri, keselamatan akan datang dari asosiasi seseorang, melalui sebuah upacara mistik, dengan seorang hero yang telah mengalahkan kematian. Yesus bisa dipandang sebagai salah satu hero seperti itu. ia menyatakan kepercayaan para pengikutnya karena ia telah bangkit dari kematian. Tetapi berbeda dari kultus-kultus misteri yang lain, keselamatan bagi orang-orang Kristen menuntut ritual-ritual, misteri-misteri, dan sakramen-sakramen. Keselamatan juga menuntut kehidupan moral. Yesus juga seorang figur historis—ia seorang manusia nyata, bukan seseorang hero mitos seperti dalam kultus-kultus misteri yang lain.

Dari sekitar tahun 100 sampai 337, Gereja di Kekaisaran merupakan sebuah sekte yang illegal dan dianiaya. Meskipun begitu, Gereja berhasil memperbesar penganut. Gereja juga mengembangkan sekumpulan opini teologis dan administratif yang koheren. Memasuki awal abad ke-4, kepercayaan Kristen telah memasuki sebagian besar Kekaisaran Romawi: itu adalah agama terbesar dalam Kekaisaran. Alasan pertumbuhan itu beraneka ragam. Misalnya, komunitas-komunitas Yahudi tersebar di seantero Kekaisaran dan orang-orang Kristen yang bergerak dari komunitas yang satu ke komunitas lainnya bisa mengajarkan ide-ide mereka dalam sinagoga-sinagoga Yahudi. Orang-orang Kristen juga mewarisi kitab-kitab suci Yahudi dengan 39 kitab Perjanjian Lama (ditulis dalam bahasa Hibrani). Dan setelah Konsili Nicea pada 325, ke-27 kitab Perjanjian Baru (tertulis dalam bahasa Yunani) juga tersedia. Kristianitas juga memberikan janji keselamatan umat manusia, bahwa yang lemah akan mewarisi dunia ini.

Tetapi orang-orang Yahudi dan Kristen dianiaya karena tidak mau mengikuti agama sipil Romawi. Agama itu menuntut kesetiaan publik pada negara, pada pendiri Roma, dan pada pantheon tradisional dewa-dewa serta dewi-dewi Romawi. Orang-orang Kristen dan Yahudi tidak mau tunduk pada perintah itu. Akibatnya, mereka menjadi sasaran kebencian dan penistaan di kalangan populasi yang mayoritas kafir. Jumlah penganiayaan itu sendiri relatif kecil, tetapi bahklan meatian satu orang mempunyai signifikansi luas karena orang itu lalu menjadi martir. Itu adalah konsekuensi yang tidak terduga dari penganiayaan Romawi. Para martir itu menjadi penting karena mereka mati sambil teap memeluk kepercayaan mereka. Kita mempunyai imaji-imaji dalam benak kita, yang sebagian besar disediakan oleh Hollywood, tentang orang-orang Kristen dan Yahudi yang dilemparkan ke depan singa-singa yang kelaparan dalam sirkus, atau yang diikat di atas tumpukan kayu dan dibakar hidup-hidup. Fakta bahwa banyak dari mereka tidak pernah menjerit-jerit ketika hendak mati secara mengerikan itu pasti menanamkan kesan mendalam pada banyak penonton. Bagaimana bisa orang-orang itu tidak menderita ketika berhadapan dengan maut yang tidak kenal ampun—begitu mungkin tanya mereka dalam hati. Dewa mereka pasti sangat sakti—kepercayaan mereka pasti luar biasa. Dan karena itu martir-martir itu berdiri tegak sebagai simbol-simbol perkasa bagi iman dan integritas orang-orang Kristen.

Pertobatan Constantine di awal abad ke-4 merupakan event politis dan psikologis. Ia berusaha memasukkan gereja Kristen kedalam urusan pemerintahan di Constantinople. Ini adalah gagasan yang tipikal Romawi: jangan mendominasi, tapi akomodasilah. Memasuki tahun 330an, misalnya, Constantine memberikan kebebasan penuh untuk beribadah pada semua orang Kristen, mengembalikan harta milik mereka yang dahulu disita negara, mengijinkan properti milik gereja tidak membayar pajak. Meskipun Constantine membuat Kristianitas menjadi agama kesayangan Kekaisaran, Kristianitas menjadi agama yang mapan atau formal baru pada tahun 391, ketika kaisar Theodosius (c.346-395) menyatakan bidaah sebagai pelanggaran hukum dan menutup semua kuil kafir Romawi.

Para intelektual, atau teolog, Kristen di Kekaisaran Romawi kemudian dengan cepat bergerak menggarap sebuah teologi yang sistematik. Dengan kata lain, mereka harus menciptakan satu kumpulan kepercayaan-kepercayaan yang akan diterima oleh semua orang Kristen. Mereka juga mengembangkan sebuah pemerintahan yang sistematik dalam gereja. Mereka meyakini diri sendiri, sebagaimana orang-orang Yahudi di jaman terdahulu, sebagai sebuah komunitas yang dipersatukan oleh iman maupun disiplin. Rasa kesatuan di antara mereka itu menjadi dasar bagi dua hal: (1) sebuah konstitusi gereja, yang menetapkan hukum-hukum dan menetapkan otoritas; dan (2) dogma, atau sekumpulan opini yang dimapankan dan yang didasarkan pada otoritas gereja.

Meskipun begitu, ada orang-orang yang mengembangkan sekte-sekte mereka sendiri di dalam gereja: para bidaah. Untung bagi gereja, berbagai bidaah yang bermunculan di tiga atau empat abad pertama setelah kelahiran Kristianitas memaksa gereja untuk mendefinisikan teolognya secara jauh lebih kaku. Dalam arti tertentu, penyimpangan dalam gereja bukan mengarah pada perpecahan, tetapi justru semakin meningkatkan kekuatan dan otoritasnya. Kenyataannya, tanpa bidaah-bidaah itu Kristianitas pasti tidak akan menjadi seperti sekarang ini. Sebagaimana St Paulus katakan, “bidaah juga harus ada.” Ada banyak bidaah di gereja purba. Beberapa bidaah seperti orang-orang Gnostik percaya bahwa penguasaan pengetahuan khusus akan menjamin keselamatan manusia.  Bagi orang-orang Gnostik, Yesus adalah seorang manusia nyata bagi siapa kekuasaan untuk membebaskan datang dari atas. Ia tidak ilahi dan juga bukan anak Allah. Bagi orang-orang Gnostik ada dua tuhan: yang satu bisa diketahui, yang lain tidak. Alam semesta ini adalah sebuah penjara—kita terjebak di dalam tubuh fisik kita sendiri. Satu-satunya keselamatan adalah lewat pengetahuan, gnosis (pencerahan batin, pencerahan ilahi). Ada sekolah-sekolah, sekte-sekte, tulisan-tulisan, dan guru-guru, mitos-mitos, dan gereja-gereja  Gnostik. Secara umum, orang-orang Gnostik merasakan suatu kerinduan pada suatu firdaus yang telah hilang, yang hanya bisa diketahui lewat pengetahuan khusus.

Signifikansi dari doktrin-doktrin bidaah seperti itu—dan Gnostik  hanyalah satu dari lusinan sekte bidaah—adalah bahwa kemunculan mereka justru memperkuat gereja. Gereja juga diperkuat ketika ia mendefinisikan kanon kitab-kitab suci: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Gereja juga mendeklarasikan bahwa jaman inspirasi ilahi telah berakhir, untuk membungkam klaim-klaim para nabi yang jumlahnya semakin membengkak dari masa ke masa.

Perkembangan paling signifikan adalah perkembangan sebuah pemerintahan formal dalam gereja. Uskup-uskup menjadi pemimpin-pemimpin gereja dan mempunyai otoritas atas imam-imam, yang pada gilirannya memegang otoritas atas umat. Struktur politis itu memberi orang-orang Kristen sebuah bentuk pemerintahan yang stabil, yang tidak dimiliki oleh agama misteri lain di masa itu. Pemerintahan gereja bahkan menyaingi pemerintahan negara Romawi, setidak-tidaknya sampai Kristianitas kemudian menjadi agama kesayangan di bawah Constantine.  Jumlah uskup di Gereja purba tidak pernah besar, jadi uskup-uskup mempunyai otoritas atas wilayah yang luas. Dan ada kota-kota, seperti Roma dan Alexandria, yang mengklaim superioritas atas kota-kota lain. Akhirnya seorang uskup Roma menjadi kepala Gereja dan mengambil gelar “papa” dan akhirnya menyebut dirinya sendiri Pope (Paus). Dengan demikian, mulai tahun 300an, gereja telah memiliki semua karakteristik yang kelak akan dipelihara sampai sepanjang Abad Pertengahan: sesuatu bentuk pemerintahan, sebuah teologi, kitab-kitab suci, ritual-ritual, martir-martir, santo-santa dan, tentu saja, kepercayaan para penganutnya.

Sepanjang abad ke-4 dan 5, para pemikir Kristen—yang disebut “Bapa-bapa Gereja”—secara konstan berusaha mensistematikkan teologi. Untuk melakukan hal itu, mereka terpaksa menggunakan pengetahuan dan sastra tradisi Greko-Roman. Meskipun begitu, mereka menganggap bahwa tradisi itu penuh dengan kebohongan dan hal-hal yang tidak senonoh. Sebenarnya hal terpenting yang mereka pelajari atau pinjam dari kebudayaan klasik itu adalah dua buah teknik. Yang pertama adalah seni eksegesis, sebuah bentuk kritik di mana seorang penulis mengetengahkan sebuah kritik dan interpretasi secara baris demi baris atas sebuah karya tulis. Pengkajian-pengkajian eksegetis menjadi grand commentaries mengenai kitab-kitab Perjanjian Lama dan Baru. Teknik yang kedua adalah seni retorik, yaitu seni gaya, presentasi, dan komposisi. Signifikansi dari hal ini tidak bisa diremehkan, sebab melalui Bapa-bapa Gereja lah maka banyak dari teks-teks Yunani dan Romawi disampaikan dari generasi ke generasi. Dengan cara itu tradisi Yudeo-Kristen menjadi terakomodasi dengan tradisi Greko-Roman.

Teks-teks itu—Plato, Zeno, Aristotle, Horace, Cicero, Homer, Virgil dan yang lain-lain—dipelihara, disalin, dan diwariskan karena Bapa-bapa Gereja merasa mereka akan bermanfaat dalam teologi Kristen maupun dalam pendidikan Kristen. Hal ini tercapai karena Perjanjian Lama telah diterjemahkan dari bahasa Hibrani ke bahasa Yunani, dan Perjanjian Baru juga sudah tertulis dalam bahasa Yunani. Kedua teks itu sudah ada sebelum Bapa-bapa Gereja abad ke-4, tetapi komentar-komentar mereka mengenai teks-teks itu juga sama-sama penting karena komentar-komentar itu memungkinkan Kristianitas menggapai jauh lebih banyak orang.

Yang juga efektif dalam penyebaran Kristianitas dan ide-ide Kristen pada umumnya adalah gerakan monastik. Orang-orang Kristen yang bergabung dengan biara-biara berusaha menghayati kehidupan “ideal-ideal asketik” atau pertapa. Orang yang menghayati ideal seperti itu menyingkuri dunia untuk mengabdikan diri pada ibadah. Dengan menyingkiri kesenangan duniawi atau material, para rahib menjadi pahlawan peradaban Kristen karena mereka menjadi teladan yang kasat mata tentang kepercayaan manusia pada Sabda Allah.

Orang yang pergi dari rumahnya dan beribadah sebagai seorang pertapa mendapatkan bahwa ia tidak bisa melakukan hal itu sendirian. Yang dibutuhkan adalah sebuah komunitas dan karena itu memasuki abad ke-5 gagasan tentang biara mendapatkan daya tarik sangat besar di Barat. Di Irlandia, klan-klan dan suku-suku bersama-sama mengadopsi kehidupan monastik. Mereka mengangkat seorang “abbot” [bahasa Aramaik abba, bapa]—orang awam yang hidup di biara dan mengelola semua kontak dengan dunia luar. Para rahib Irlandia melakukan  perjalanan ke seluruh penjuru Eropa daratan sambil membangun biara-biara di tengah perjalanan mereka.

Tetapi dari gerakan monastik yang umumnya semrawut itu muncul  St. Benedict (c.480-c.543) dari Italia yang mengawali penertiban. Benedict menggariskan sebuah aturan bagi komunitas-komunitas monastik yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan dan fungsi-fungsi. Konstitusi yang ia kembangkan memberikan otoritas penuh pada abbot—abbot diangkat untuk seumur hidup dan tidak bisa digantikan. Yang disebut Benedictine Rule meliputi: semua rahib harus memanjatkan doa pada interval-interval tertentu pada siang dan malam hari. Semua rahib juga diwajibkan bekerja keras—hal ini memberikan derajat tinggi pada kerja keras, suatu hal yang diemohi oleh orang-orang Romawi.

Sepanjang masa hidupnya, Benedict mendirikan 12 komunitas monastik kecil-kecilan, yang terpenting berlokasi di Monte Cassino, dekat Naples. Rahib-rahib itu mempengaruhi hampir setiap aspek dari kehidupan abad menengah awal. Mereka adalah para petani yang paling sukses. Mereka mengelola tanah-tanah luas dan memberikan contoh-contoh tentang praktek pertanian yang baik. Mereka juga orang-orang yang paling melek huruf dan terdidik. Mereka mengorganisir “scriptoria” atau kantor-kantor juru tulis di mana mereka menyalin naskah-naskah—baik sekuler maupun religius—dan naskah-naskah berhias  atau “illuminated.” Raja-raja dan pangeran-pangeran Eropa merekrut rahib-rahih itu sebagai pegawai dan hampir semua catatan administratif dari masa itu ditulis oleh para juru tulis rahib.

Biara-biara itu penting sebab organisasi komunal mereka memungkinkan para rahib untuk mengatasi masalah-masalah usia sambil pada saat yang sama mereka menjadi hero peradaban Kristen. Mereka menghindar dari kesemrawutan jaman mereka tetapi tidak secara individual. Lebih tepat lagi, komunitas-komunitas monastik seperti Monte Cassino, mengumpulkan para rahib yang saleh menjadi satu. Beberapa bekerja di ladang-ladang, yang lain dalam pabrik pembakaran roti, yang lain lagi mungkin mengurusi pemerasan anggur. Tetapi temperamen asketik mengajarkan para rahib itu untuk menabung dan berinvestasi untuk masa depan. Dengan menghindari kemewahan atau dengan tidak langsung mengkonsumsi semua yang mereka hasilkan, para rahib mendapatkan kesuksesan ekonomis yang lumayan besar.

Berhemat bagi masa depan nalar bagi rahib Benedictine. Berhemat juga pas sekali dengan ideal asketik mereka tentang pengingkaran-diri di dunia kesenangan-kesenangan material. Selama abad ke-7 dan 8, biara-biara Benedictine dan Celtic (Irlandia) memainkan peranan vital dalam Kristenisasi bekas Kekaisaran Romawi. Tetapi lama kelamaan mereka tidak lagi menjadi komunitas-komunitas yang menopang agama yang sangat personal. Di tingkat terjelek, mereka menjadi korban eksploitasi para abbot  awam. Di tingkat terbaik, mereka menjadi komunitas-komunitas spiritual yang eksis untuk melayani kepentingan-kepentingan para pendiri mereka yang aristokratik.

Memasuki awal abad ke-9, monastikisme berhenti menjadi panggilan bagi segelintir orang. Sebagai gantinya, monastikisme menjadi sebuah gaya hidup yang sangat berpengaruh dan terbelit oleh keluarga-keluarga besar dan kaya yang terlibat dalam kehidupan sehari-hari daerah pedesaan masa abad menengah awal. Pada saat yang sama, tujuan ordo monastik berubah. Para rahib telah berpaling dari mengejar keselamatan personal, dan sebagai gantinya mereka mulai menjadi penghubung dengan Tuhan atas nama masyarakat. Peranannya pada dasarnya berubah menjadi klerik, dan mereka menjadi klerik kelas profesional yang mengurusi kesejahteraan masyarakat. Untuk menjadi seorang rahib pada abad ke-9 menuntut kompetensi profesional dan komitmen—kesalehan personal praktis lenyap.  Jajaran monastik menjadi penuh bukan dengan orang-orang yang tertarik pada kesempurnaan personal,  melainkan dengan anak-anak para patron aristokrat, yang percaya bahwa mereka dan keluarga mereka akan menjadi lebih dekat dengan Tuhan jika mereka membangun dan mengelola biara-biara di atas tanah milik mereka. Maka mulailah para rahib memandang diri mereka sendiri sebagai “serdadu-serdadu Kristus,” yang berjuang untuk melestarikan kesejahteraan clergy  dan kaum beriman, raja dan kerajaannya.

Memasuki abad ke-11 dan 12, serangkaian pembaharuan monastik besar-besaran melanda seluruh Eropa dan ordo-ordo monastik baru seperti Fransiskan dan Dominikan melakukan banyak hal untuk memulihkan ketegaran dan vitalitas orisinil gerakan monastik awal. Monastikisme vital bagi penyebaran Kristianitas di awal Abad Menengah. Tetapi yang karakteristik dari ordo-ordo itu adalah bahwa mereka gagal mempertahankan vitalitas dan tujuan mereka. Hal itu terutama akibat suntikan ideal-ideal aristokratik.

Sumber: www.historyguide.org

Terjemahan: Bern Hidayat, 21 Desember 2009

Leave a comment